OPINI--- Hari ini tepat menjadi hari kemerdekaan ketujuh puluh delapan Republik Indonesia. Selalu saja terngiang pertanyaan reflektif, sudahkah kita benar-benar merdeka? Nyatanya memang tidak sepenuhnya kita bisa menikmati kemerdekaan ini penuh suka cita secara personal bahkan secara bersama-sama. Setiaphari ada saja yang membuat kita mendengus dan geleng-geleng kepala.
Dunia pendidikan yang menjadi ujung tombak pembentukan kualitas terbaik SDM Indonesia tidak lepas dari masalah. Masalah yamg bisa dimaknai betapa dunia pendidikan di negara kita tidak sepenuhnya merdeka dan mampu memerdekakan orang-orang yang bergelut di dalammya, baik itu guru, dosen, siswa, dan mahasiswa.
Meskipun pendahulu negara kita telah menegaskan tujuan hadirnya negara merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Toh, hari ini sistem pendidikan hadir tidak sepenuhnya memberikan ruang bebas merdeka ke peserta didik. Beragam akses pendidikan di wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan masih terbatas, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan literasi. Ketersediaan bahan baca sesuai usia masih terbatas, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Jikapun ada, harganya masih terbilang sulit untuk dijangkau oleh kebanyak orang.
Data terbaru UNESCO di tahun 2020 memaparkan jika tingkat literasi Indonesia di dunia berada di urutan kedua dari bawah, yaitu hanya 0,001%. Artinya hanya ada satu orang yang rajin membaca di antara 1.000 penduduk di Indonesia. Jika dibandingkan dengan penggunaan gawai, lembaga riset pemasaran digital menyebutkan setidaknya di tahun 2018 terdapat lebih dari 100 juta penduduk yang menjadi pengguna aktif gawai.
Ketimpangan ini menjadi sebuah ironi yang harus segera diatasi dari berbagai lini kehidupan. Hari ini jauh lebih orang yang menghabiskan waktunya menatap layar gawai dengan beragam aplikasi media sosial dibandingkan mereka yang menghabislan waktu membaca buku. Pemerintah telah mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah intuk giatkan minat baca di sekolah-sekolah. Itu saja tentu belum cukup, dibutuhkan banyak strategi lain yang harus dijalankan dari berbagai lini. Hal ini bisa berhasil, jika metode yang digunakan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing, serta kapasitas dan kemampuan secara personal maupun komunitas.
Tentu ada beragam cara mengatasi permasalahan literasi, dengan membuka perpustakaan publik yang sukses dijalankan di beberapa daerah di Indonesia membuat klub baca, atau seperti menjalankan Pustaka Bergerak untuk memastikan setiap orang di wilayah yang sulit diakses bisa membaca buku secara gratis. Bahkan beberapa di antaranya berupaya menambah buku bacaan yang berkualitas dengan menulislan cerita berperspektif lokal di daerah masing-masing.
Apapun cara yang dipilah merupakan upaya bersama mengambil peran meningkatkan kemampuan literasi penduduk Indonesia, sekaligus memberi andil atas tercapaiinya sedikit demi sedikit salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs yang tengah diupayakan pemerintah, yaitu tujuan keempat Pendidikan Berkualitas.
Meskioun tidak sedikit pihak yang vmenyebutkan SDGs adalah tujuan yang begitu utopis. Namun, toh perlahan-lahan satu per satu indikator setiap tujuan pembangunan berkelanjutan bisa memperlihatkan tren positif. Upaya peningkatan literasi ini tidak bisa hanya disematkan kepada pemerintah saja, semua pihak baik swasta, maupun masyarakat luas secara personal ataupun bergerak bersama komunitas harus mengambil peran sesuai peran masing-masing. Tidak harus menggunakan sokongan dana besar, dengan mengandalkan modal sosial, mulai dari jejaring, kepercayaan, kekerabatan sudah sangat bisa menjalankan sebuah kegiatan yang mampu menggeliatkan kenampuan literasi di tempat masing-masing. Karena kunci pencapaian SDGs adalah kolaborasi dan berkelanjutan.
Setiap langkah kecil yang kita lakukan bersama bisa menjadi jalan setiap orang merasakan kemerdekaan yang hakiki. Tidak hanya sekedar jargon sehari, lalu esok harus kembali bergelut dengan keriuhan permasalahan di dunia pendidikan lagi. Meskipun upaya yang dilakukan hanya secuil, mungkin akan bermakna bagi perkembangan literasi di tempat kita masing-masing, seperti kata seorang arif, Mustafa Chamran,
“Mungkin ku tak sanggup usir kegelapan ini,
Tapi dengan nyala redup ini
Kuingin tunjukkan beda gelap dan terang
Kebenaran dan kebatilan.”
OPINI: Memerdekan Indonesia Lewat Gerakan Literasi