تخطي للذهاب إلى المحتوى

Hari Santri dan Pelajaran Etika Media

23 أكتوبر, 2025 بواسطة
Hari Santri dan Pelajaran Etika Media
Humas IAIN Parepare
لا توجد تعليقات بعد


Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare,  Ketua LBH GP Ansor Kota Parepare


Humas IAIN Parepare --- Tanggal 22 Oktober kembali diperingati sebagai Hari Santri. Momentum yang lahir dari perjuangan kaum sarungan ini semestinya menjadi pengingat akan kontribusi besar pesantren dalam membangun nalar kebangsaan. Namun, tahun ini, nuansa refleksi itu ternoda oleh sikap arogan sebuah stasiun televisi.

Trans7, melalui program “Sketsa” episode “Netijen”, telah melakukan pelanggaran etika dan rasa hormat yang serius. Mereka tak hanya menampilkan adegan yang menghina dan mereduksi martabat kiai serta kehidupan pondok pesantren menjadi bahan lelucon yang murahan, tetapi juga menginjak-injak nilai-nilai keluhuran yang dijaga dalam tradisi pesantren.

Dalam konstitusi kita, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan itu bukanlah ruang hampa tanpa batas. Ia dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain, serta oleh nilai-nilai moral dan agama yang hidup dalam masyarakat. Prinsip uit eigen beweging (kewajiban sendiri) dari penyiaran untuk menjaga norma-norma yang berlaku seharusnya menjadi panduan.

Apa yang dilakukan Trans7 adalah contoh nyata dari libel dan pencemaran nama baik yang kolektif terhadap sebuah komunitas religius. Ini bukan lagi soal “humor yang tidak lucu”, melainkan sudah masuk ranah penghinaan (insult) yang dapat dikategorikan sebagai tindakan asusila menurut Pasal 27 ayat (3) Juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE, atau bahkan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Di sinilah negara harus hadir. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai representasi negara dalam pengawasan penyiaran, tidak boleh hanya memberi sanksi administratif ringan. Tindakan Trans7 adalah ujian bagi kedaulatan hukum kita, apakah hukum mampu melindungi kelompok yang dilecehkan, atau justru membiarkan kekuatan kapital dan rating menginjak nilai-nilai kesantrian?

Pesantren, dengan kiai sebagai tokoh sentralnya, adalah entitas yang sangat dihormati. Mereka bukan hanya guru agama, tetapi juga penjaga moral publik dan benteng moderatisme. Menghina kiai berarti menghina ribuan, bahkan jutaan santri dan masyarakat yang menaruh hormat. Ini adalah bentuk hate speech yang terselubung dalam bingkai komedi.

Momen Hari Santri tahun ini mengajarkan kita pelajaran penting. Pertama, tentang urgensi literasi media yang lebih kuat, bukan hanya bagi masyarakat, tetapi terutama bagi para produser konten. Mereka harus paham bahwa kebebasan kreatif harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab sosial dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain.

Kedua, ini adalah pengingat bagi kita semua untuk tidak diam. Masyarakat sipil, ormas Islam, dan terutama para santri, telah menunjukkan kekuatan kontrol sosialnya dengan melakukan protes yang masif dan tertib. Ini adalah bentuk partisipasi publik yang sehat dalam mengawasi media agar tidak keluar dari rel etika.

Terakhir, negara harus memastikan bahwa regulator seperti KPI memiliki gigi yang tajam. Sanksi harus diberikan setimpal, tidak hanya berupa denda, tetapi juga penundaan siaran hingga pencabutan izin jika pelanggaran dilakukan secara berulang dan sengaja.

Hari Santri adalah perayaan atas kontribusi santri untuk Indonesia. Jangan biarkan hari yang mulia ini ternodai oleh sikap tidak beradab segelintir orang yang tidak paham batas. Hormati kiai, hormati pesantren, karena menghormati mereka berarti menghormati salah satu pilar penting NKRI.

في رأي
أرشفة
تسجيل الدخول حتى تترك تعليقاً