Oleh: Suherman Syach*
Sebagai orang yang bekerja di lingkungan perguruan tinggi, saya menangkap atmosfer dan pergulatan rasa yang dialami sejumlah pegawai dan dosen di kampus, khususnya mereka yang lulus PPPK. Saya sempat mendiskusikan persoalan ini dengan seorang sahabat yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Dosen. Ia mengungkapkan bahwa dirinya menerima banyak curahan hati serupa dari para kolega dosen di berbagai perguruan tinggi negeri, yang merasakan “kegalauan” di tengah kebersyukuran-nya. Berangkat dari realitas tersebut, saya menulis opini ini dalam tinjauan kritis. Semoga saja dipahami secara konstruktif, bukan sebaliknya.
Reformasi birokrasi dan sistem kepegawaian di Indonesia menghadirkan terobosan baru melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kehadiran PPPK, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan akan tenaga profesional di instansi pemerintah, tanpa membebani negara dalam jangka panjang melalui pensiun. Namun, dalam praktiknya, kebijakan PPPK menyisakan sejumlah anomali yang justru melemahkan tujuan awal reformasi ASN, terutama bagi kalangan akademisi seperti dosen.
Salah satu fakta menarik sekaligus menyedihkan yang muncul adalah penurunan jabatan fungsional dosen yang sebelumnya telah diangkat sebagai dosen PPNPN (Pegawai Pemerintah Non-PNS). Tidak sedikit dari mereka yang telah menjabat sebagai lektor bahkan lektor kepala, namun ketika lulus seleksi sebagai PPPK justru ditetapkan kembali pada posisi asisten ahli. Ini bukan hanya bentuk kemunduran karier, tetapi juga sebuah ironi dari sistem kepegawaian yang seharusnya berbasis kompetensi dan rekognisi kinerja.
Menurut saya, masalah ini terjadi karena adanya ketidaksinkronan antara regulasi kepegawaian PPPK dengan Permenpan RB No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Dalam banyak kasus, SK jabatan fungsional sebelumnya tidak diakui, karena dianggap tidak setara dengan sistem ASN. Akibatnya, dosen PPPK harus memulai dari nol, seolah-olah mereka belum pernah mengabdi atau berkontribusi di dunia akademik. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang belum diselesaikan oleh negara.
Lebih ironis lagi, beberapa dosen yang sebelumnya memegang jabatan struktural tertentu seperti ketua program studi atau kepala pusat studi, harus diberhentikan dari posisi tersebut setelah lulus sebagai PPPK. Alasannya sederhana: karena statusnya kini hanya sebagai asisten ahli, mereka tidak lagi memenuhi syarat administratif untuk menduduki jabatan tersebut. Ini menimbulkan kesenjangan serius antara kapasitas dan pengakuan formal, yang berdampak langsung pada kesejahteraan dan motivasi kerja.
Fakta-fakta ini menunjukkan adanya anomali dalam sistem kepegawaian PPPK. Di satu sisi, negara menginginkan profesionalisme dan meritokrasi dalam ASN. Di sisi lain, sistem yang dibangun justru melemahkan pengakuan terhadap pengalaman dan prestasi yang telah diraih, khususnya bagi dosen yang sebelumnya telah berkiprah dalam dunia pendidikan tinggi.
Padahal, UU ASN Pasal 21 menyatakan bahwa ASN, baik PNS maupun PPPK, memiliki hak atas pengembangan kompetensi, perlindungan, dan pengakuan terhadap kinerja. Dalam praktiknya, dosen PPPK justru mengalami “penyusutan status” yang tidak hanya merugikan individu, tetapi juga institusi pendidikan tinggi itu sendiri. Bayangkan, bagaimana perguruan tinggi dapat berkembang jika para dosennya yang berpengalaman justru dimundurkan dalam sistem kepegawaian?
Tidak berhenti di situ, PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK memang memberi ruang bagi pengembangan karier PPPK. Namun, implementasi di lapangan belum sepenuhnya konsisten. Prosedur pengakuan jabatan fungsional sebelumnya, konversi angka kredit, hingga skema pengangkatan ulang, belum tersedia dengan jelas dan seragam. Ketidakpastian ini membuat banyak dosen PPPK berada dalam posisi "mengambang", tanpa kejelasan arah karier dan jenjang kepangkatan.
Dari sisi kesejahteraan, penurunan jabatan juga berarti penurunan tunjangan dan insentif. Dalam sistem penggajian ASN, tunjangan fungsional dosen sangat bergantung pada jenjang jabatan akademik. Seorang lektor kepala bisa kehilangan insentif jutaan rupiah per bulan ketika statusnya diturunkan menjadi asisten ahli. Ini tentu sangat memengaruhi motivasi dan daya tahan dosen dalam menjalankan tugas tridarma perguruan tinggi.
Dalam konteks perencanaan kepegawaian nasional, kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah PPPK dirancang sebagai solusi jangka panjang atau hanya tambal sulam birokrasi? Jika memang PPPK diproyeksikan menjadi bagian integral dari ASN, maka sudah seharusnya standar rekognisi jabatan, pengembangan karier, dan kesejahteraan mereka disamakan dengan PNS. Jangan sampai PPPK menjadi kasta kedua dalam birokrasi yang terus memperlebar kesenjangan.
Secara normatif, UU ASN menjamin kesetaraan antara PNS dan PPPK dalam hal tugas dan tanggung jawab. Namun, ketimpangan dalam perlakuan administratif, akses promosi, dan kesejahteraan membuktikan bahwa kesetaraan tersebut belum terwujud secara substantif. Ini adalah pekerjaan rumah besar yang harus segera dijawab oleh pemerintah dan DPR, terutama melalui revisi UU ASN dan aturan turunannya.
Jika pemerintah serius membangun ASN yang profesional, inklusif, dan adil, maka perlu ada kebijakan afirmatif untuk PPPK, terutama mereka yang berasal dari kalangan honorer atau PPNPN. Pengalaman panjang mereka seharusnya dihargai, bukan diabaikan. Sistem penilaian kinerja dan rekognisi jabatan harus dibuat lebih adil, akuntabel, dan adaptif terhadap riwayat pengabdian sebelumnya.
Kita perlu mengingat bahwa dosen bukan sekadar pengisi jabatan administratif, tetapi adalah penentu arah kualitas pendidikan tinggi dan generasi masa depan. Jika negara tidak mampu menjamin kejelasan karier dan kesejahteraan mereka, maka kita sedang mempertaruhkan masa depan bangsa.
Oleh karena itu, masa depan PPPK sangat bergantung pada keberanian negara menyelesaikan anomali-anomali ini secara sistemis. Dosen PPPK yang telah berjuang membangun reputasi akademik dan institusi tidak layak diberi perlakuan “reset jabatan”. Mereka pantas mendapatkan pengakuan dan keadilan sebagaimana semangat reformasi birokrasi yang diamanatkan dalam UU ASN. Wallahu a’lam bishawab.
Anomali PPPK dan Masa Depannya