Oleh: Sulvinajayanti
Dosen Public Relations IAIN Parepare
OPINI---Gelombang disrupsi digital tidak hanya mengguncang model bisnis media konvensional, tetapi juga menggoyang fondasi etika penyiaran publik. Ruang redaksi kini hanya satu dari sekian banyak panggung produksi pesan. Ruang yang lebih besar dan tidak terkontrol justru terbentuk di media sosial seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan platform sejenis, di mana konten siaran, dakwah, dan kampanye menyatu dalam arus algoritma yang massif dan nyaris tak terawasi.
Sayangnya, hingga kini, regulasi penyiaran kita masih tertinggal. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan P3SPS KPI (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) masih berfokus pada televisi dan radio konvensional. Padahal, sebagian besar “penyiaran” publik hari ini justru berlangsung secara digital dan lintas platform, menyasar audiens lintas usia dengan karakter viral yang tidak selalu menyisakan ruang untuk refleksi etik.
Ada kekosongan regulasi yang mengkhawatirkan. Konten-konten digital bertema dakwah, jurnalisme warga, bahkan komunikasi kelembagaan kini beredar luas di media sosial dengan narasi yang kerap emosional, manipulatif, bahkan provokatif. Tanpa pengawasan yang relevan, ruang digital berisiko menjadi ruang penyebaran informasi tanpa nilai dan kontrol, yang sulit dibedakan antara fakta, opini, dan sensasi.
Krisis ini semakin terasa ketika industri penyiaran konvensional mengalami gelombang PHK, seperti yang baru-baru ini terjadi di sejumlah stasiun televisi nasional dan lokal. Sementara itu, platform media sosial terus tumbuh tanpa beban etika yang jelas. Dalam konteks ini, KPI tidak bisa tinggal diam. Sudah waktunya KPI bertransformasi, tidak hanya sebagai pengawas siaran konvensional, tetapi juga sebagai pengarah nilai dalam ekosistem digital.
Melihat dinamika yang berkembang, tampaknya sudah saatnya kita mempertimbangkan hadirnya sebuah unit khusus KPI Digital Watch misalnya atau dengan istilah lain yang bertugas memantau, menilai, dan memberikan panduan atas penyiaran digital yang menjangkau publik luas. Pengawasan ini bukan dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi, melainkan untuk memastikan bahwa ruang digital tetap menjadi ruang komunikasi yang sehat, beradab, dan berpihak pada kepentingan publik. Digital Watch, layaknya sebuah jam digital, mencerminkan kebutuhan atas model pengawasan yang adaptif, real-time, dan kolaboratif—mengikuti logika kerja media sosial yang bergerak cepat, lintas platform, dan sangat mempengaruhi opini serta perilaku masyarakat. Dalam ekosistem digital yang nyaris tanpa pagar, inisiatif semacam ini menjadi bentuk tanggung jawab kolektif untuk menjaga kualitas informasi dan etika komunikasi di tengah banjir konten yang tak selalu bertanggung jawab.
Namun, transformasi KPI tidak akan berhasil tanpa dukungan dari institusi pendidikan tinggi dan para pelaku komunikasi strategis, khususnya di lingkungan PTKIN.
Tentu, KPI tidak dapat bekerja sendiri. Dunia kampus, khususnya PTKIN, memiliki tanggung jawab strategis. Kita harus mendidik generasi komunikator yang tidak hanya paham teknologi komunikasi, tetapi juga berakar pada nilai-nilai etika, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial. Mahasiswa perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis terhadap konten, serta memahami konsekuensi etis dari setiap narasi yang mereka produksi.
Dalam konteks ini, peran Humas pada lembaga penyiaran menjadi sangat vital. Humas bukan hanya penyampai pesan institusi, tetapi juga penjaga reputasi yang harus mampu menjembatani kepentingan publik, regulator, dan nilai etis dalam setiap produksi kontennya. Di era digital, Humas lembaga penyiaran harus mampu mengambil peran strategis untuk memastikan bahwa siaran tidak hanya menarik, tetapi juga bermuatan nilai. Humas juga dapat menjadi jembatan antara KPI dan praktik komunikasi digital di lapangan, memberikan masukan berbasis realitas produksi konten. Begitu pula dengan Humas PTKIN—lembaga ini seharusnya menjadi teladan dalam membangun komunikasi publik berbasis nilai keislaman yang rahmatan lil alamin, baik di ruang akademik maupun digital. Dalam konteks ini, kesiapan Humas untuk memahami sekaligus mendampingi proses pembaruan regulasi media sosial sangat diperlukan, agar KPI tidak berjalan sendiri dan tetap terhubung dengan kebutuhan publik yang nyata.
Humas hari ini bukan hanya profesi citra, tetapi juga penjaga nalar publik. Seorang humas adalah aktor yang membentuk kepercayaan, menyusun makna, dan mengelola persepsi. Jika humas tidak dilandasi oleh nilai, ia akan kehilangan arah dalam lanskap digital yang bising. Maka, humas yang etis adalah humas yang meletakkan nilai publik di atas kepentingan algoritma.
Masa depan penyiaran tidak lagi bisa dibatasi oleh batas frekuensi dan studio. Penyiaran kini adalah siapa saja yang memegang gawai dan punya audiens. Maka, jika KPI tidak segera melek media sosial, kita semua akan kehilangan arah dalam arus informasi tanpa pagar. Transformasi kelembagaan KPI adalah keniscayaan, dan dunia akademik harus menjadi mitra utamanya.
Dari Ruang Redaksi ke Ruang Digital: Saatnya KPI Melek Media Sosial