Oleh Suherman Syach (Katim Humas IAIN Parepare / Pengajar Ilmu Manajemen)
Humas IAIN Parepare --- Gagasan Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, tentang kurikulum berbasis cinta menjadi angin segar di tengah kegelisahan dunia pendidikan nasional. Kurikulum ini bukan hanya membicarakan kecerdasan intelektual, tetapi juga mengedepankan nilai kasih sayang, empati, dan cinta sebagai fondasi utama dalam proses pendidikan. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang serba cepat, gagasan ini terasa sangat relevan. Pendidikan sejatinya bukan hanya mencetak manusia pintar secara akademik, tetapi juga membentuk manusia yang berakhlak, penuh kasih, dan memiliki rasa cinta pada sesama.
Selama ini, pendidikan di Indonesia sering diukur dari kemampuan kognitif semata: seberapa tinggi nilai rapor, indeks prestasi kumulatif, atau seberapa cepat lulus dengan predikat cumlaude. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa kecerdasan akademik tidak selalu berbanding lurus dengan kemuliaan moral. Kita menyaksikan fenomena orang-orang berpendidikan tinggi yang justru terjerumus pada praktik manipulatif, kriminal, bahkan korupsi. Sebagai contoh, banyak pejabat negara yang bergelar doktor, profesor, atau sarjana terbaik justru menjadi pelaku korupsi miliaran hingga triliunan rupiah. Kasus terbaru misalnya, skandal korupsi BTS 4G Kominfo yang melibatkan pejabat berpendidikan tinggi menjadi bukti bahwa kecerdasan intelektual tanpa kasih sayang dan cinta pada bangsa hanyalah kehampaan moral.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita masih miskin pendidikan hati. Pendidikan cenderung mengedepankan logika dan kompetisi, tetapi melupakan dimensi cinta, empati, dan rasa peduli pada sesama. Padahal, seperti dikatakan Martin Luther King Jr., “Intelligence plus character — that is the goal of true education.” Kecerdasan sejati tidak akan bermakna tanpa karakter yang dilandasi cinta dan kasih sayang.
Kurikulum cinta yang digagas Prof. Nasaruddin Umar diharapkan mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki iman yang kokoh dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Generasi ini diharapkan mampu mengintegrasikan kecerdasan akal dengan kelembutan hati, sehingga tidak hanya sukses secara duniawi, tetapi juga memiliki nilai keberkahan dalam hidup. Pendidikan berbasis cinta menuntut adanya hubungan guru dan murid yang penuh kasih, metode pengajaran yang humanis, serta pembelajaran yang menanamkan rasa peduli, empati, dan tanggung jawab sosial.
Secara teoritis, kurikulum cinta berakar pada pendekatan pendidikan humanis, yang memandang peserta didik sebagai manusia seutuhnya dengan potensi hati, akal, dan ruh. Tokoh seperti Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, menghidupkan kesadaran kritis, serta mengedepankan nilai kemanusiaan. Kurikulum cinta juga sejalan dengan konsep pendidikan nilai (value-based education) yang bertujuan menginternalisasi moral dan spiritual dalam proses belajar.
Etnomarketing sebagai Pendekatan Praktis
Sebagai seorang sarjana manajemen, saya memandang bahwa kurikulum cinta ini perlu dipahami dan dikomunikasikan melalui pendekatan yang tepat agar tidak berhenti sebatas gagasan normatif. Konsepsi kurikulum cinta harus membumi, populer dan kuat dalam persepsi, pengetahuan dan kesadaran masyarakat secara luas. Salah satu pendekatan yang relevan untuk menjual gagasan tersebut adalah etnomarketing. Etnomarketing merupakan strategi pemasaran yang berfokus pada nilai-nilai budaya, identitas, dan kearifan lokal masyarakat. Pendekatan ini menekankan komunikasi yang menyentuh hati, sesuai dengan bahasa, simbol, serta karakter budaya audiens.
Menurut teori Philip Kotler, pemasaran tidak lagi sekadar menjual produk, tetapi menciptakan nilai dan membangun hubungan emosional. Dalam konteks ini, kurikulum cinta adalah “produk” nilai yang harus dipasarkan agar diterima dan dihidupi masyarakat. Melalui pendekatan etnomarketing, kurikulum cinta dapat diterjemahkan dalam bentuk pesan, program, dan praktik pendidikan yang selaras dengan budaya lokal Indonesia yang kaya nilai kekeluargaan, gotong royong, dan toleransi.
Etnomarketing memiliki urgensi dalam membumikan kurikulum cinta karena pendekatan ini mampu mengemas nilai cinta melalui narasi budaya lokal. Nilai cinta dapat dihubungkan dengan filosofi Siri’ na Pacce pada budaya Bugis-Makassar atau dengan nilai gotong royong dalam budaya Jawa. Pendekatan berbasis budaya juga menciptakan kedekatan emosional, sehingga masyarakat lebih mudah menerima kurikulum cinta ketika disampaikan melalui budaya yang sudah mereka kenal. Selain itu, etnomarketing mendukung pembangunan branding pendidikan yang humanis, di mana kurikulum cinta dapat diposisikan sebagai identitas pendidikan Indonesia yang penuh nilai kasih, berbeda dengan pendekatan pendidikan Barat yang cenderung kompetitif.
Kurikulum cinta akan berhasil jika diimplementasikan bukan hanya di kelas, tetapi juga menjadi budaya di sekolah, kampus, dan masyarakat. Pendekatan etnomarketing, kita tidak hanya mempromosikan konsep cinta, tetapi juga menginternalisasikannya sebagai value yang hidup di tengah masyarakat Indonesia.
Implementasi Kurikulum Cinta melalui Pendekatan Etnomarketing