تخطي للذهاب إلى المحتوى

Mahasiswa dan Krisis Opini di Era Banjir Informasi

oleh: Nadiatul Adawiah
13 يونيو, 2025 بواسطة
Humas IAIN Parepare

Di zaman ini, semua orang punya panggung. Cukup satu unggahan, ratusan hingga ribuan pasang mata bisa tertuju. Namun di balik keterbukaan itu, terselip krisis yang lebih dalam: bukan siapa yang berbicara, melainkan siapa yang benar-benar berpikir. Ketika opini berseliweran tanpa fondasi, mahasiswa yang seharusnya menjadi pemandu nalar publik, justru ikut terombang-ambing di dalamnya.

Kita hidup di tengah era banjir informasi, ketika hoaks melesat lebih cepat dari klarifikasi, dan viralitas sering kali mengalahkan validitas. Dalam pusaran ini, mahasiswa justru tampak semakin jauh dari peran transformasionalnya. Mereka lebih sering tampil sebagai reaktif komentator ketimbang pembentuk opini yang reflektif. Apakah ini cerminan bahwa kampus tak lagi menjadi habitat subur bagi lahirnya pemikir independen?


Realitasnya, mahasiswa kini lebih akrab dengan feed daripada jurnal. Menurut Datareportal (2024), Indonesia merupakan salah satu pengguna Instagram terbesar di dunia. Ini bukan sekadar statistik, ini alarm. Sebab di tengah arus konten yang deras, kemampuan menyaring kebenaran menjadi taruhannya. Lihat saja saat polemik #KawalKeputusanMK mencuat; opini publik terbelah hanya karena framing narasi digital. Sayangnya, alih-alih menjadi penyejuk dengan argumen, banyak mahasiswa justru terjebak menjadi buzzer tak resmi, mengutip tanpa membaca, membela tanpa memahami.

Tentu, kita tak bisa semata menyalahkan mahasiswa. Ada struktur yang lemah di balik semua ini. Algoritma digital bekerja bukan untuk mencerdaskan, melainkan untuk mengikat atensi. Yang populer naik ke permukaan, yang bernas justru terkubur. Dalam studi “Nalar dan Spiritualitas di Era Digital”, ditemukan bahwa konten keagamaan yang viral kerap tanpa basis akademik yang kuat. Ini membuktikan bahwa engagement bukan indikator keilmuan. Maka, di sinilah pergulatan intelektual mahasiswa diuji: mampu tidak mereka berenang melawan arus dan berpihak pada yang valid, bukan yang viral?

Sayangnya, kemampuan ini tak tumbuh dalam ruang hampa. Kita mesti bertanya: di mana peran kampus? Banyak institusi pendidikan tinggi masih terjebak pada ritus akademik formal tanpa menyentuh praktik literasi media digital. Mata kuliah berpikir kritis dan menulis opini masih sering jadi formalitas, bukan ruang pembentukan karakter intelektual. Sementara itu, media kampus banyak yang redup, tak punya daya hidup karena minim dukungan struktural. Ironis, kampus bicara digital literacy, tapi tak menyediakan laboratorium sosial tempat mahasiswa bisa mengasah nalar secara nyata.

Menulis opini bukan sekadar mencurahkan isi hati. Ia adalah bentuk tanggung jawab intelektual. Ia butuh data, logika, dan kejujuran berpikir. Sayangnya, di era ini, ketiganya justru dianggap hambatan. Lebih mudah menulis cepat dan emosional, daripada menyusun argumen jernih dan bertanggung jawab. Padahal bila mahasiswa ingin mengambil peran dalam mencerdaskan bangsa, mereka harus berani menyuarakan yang benar, bukan sekadar menggema yang ramai.

Apa yang bisa dilakukan? Banyak. Tapi kita bisa mulai dari yang mendasar: berpikir sebelum menulis, memverifikasi sebelum menyebar, dan menyaring sebelum mempercayai. Kampus juga harus berbenah, bukan cuma menyampaikan teori, tetapi menghadirkan ekosistem literasi publik yang aktif. Media kampus, diskusi terbuka, hingga klinik menulis opini harus dihidupkan kembali, bukan sekadar formalitas pelaporan kegiatan.


Pada akhirnya, kebebasan berbicara tak berarti banyak jika tak disertai kebebasan berpikir. Di tengah dunia yang bising ini, mahasiswa harus memilih: mau jadi gema, atau menjadi suara yang sadar?

Biodata Penulis

Nadiatul Adawiah adalah seorang mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Arab semester II di IAIN Parepare. Selain menjalani peran sebagai mahasiswi, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, salah satunya adalah Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Parepare.

في رأي
Humas IAIN Parepare 13 يونيو 2025
أرشفة