تخطي للذهاب إلى المحتوى

Meneguhkan Peran Kejaksaan sebagai Dominus Litis

Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
21 يوليو, 2025 بواسطة
Meneguhkan Peran Kejaksaan sebagai Dominus Litis
Humas IAIN Parepare

Opini - Hari ini, 22 Juli, Kejaksaan Republik Indonesia memperingati Hari Bhakti Adhyaksa ke-65. Peringatan ini bukan semata seremoni, tetapi momentum reflektif atas perjalanan institusi yang memegang peranan strategis dalam sistem peradilan pidana kita. Di tengah sorotan publik yang makin tajam terhadap integritas dan profesionalisme penegak hukum, kejaksaan dituntut tidak hanya bekerja lebih bersih dan independen, tetapi juga menjalankan mandat konstitusionalnya secara tepat, khususnya sebagai dominus litis dalam sistem peradilan pidana nasional.


Salah satu penguatan signifikan terhadap peran kejaksaan tampak dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terbaru. Dalam konsep RKUHAP, jaksa secara eksplisit ditegaskan sebagai dominus litis, yaitu pengendali perkara dalam proses penuntutan. Posisi ini menegaskan superioritas jaksa dibandingkan penyidik, dalam arti bahwa keputusan akhir terkait kelanjutan proses hukum berada di tangan jaksa, bukan penyidik kepolisian.


Dalam praktik selama ini, ketegangan antara penyidik dan penuntut umum kerap muncul ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai kelayakan suatu perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan. KUHAP lama cenderung menyamakan posisi keduanya sebagai penegak hukum, tanpa kejelasan hierarki otoritatif dalam proses penanganan perkara. KUHAP baru hadir untuk memutus ketidakjelasan itu.


Dominus litis bukan sekadar istilah Latin yang menawan, tetapi prinsip dasar sistem peradilan modern yang menempatkan jaksa sebagai arsitek strategi penegakan hukum pidana. Dengan prinsip ini, kejaksaan tidak hanya bertugas menuntut, tetapi juga harus mengawal setiap proses dari hulu ke hilir  dari penyidikan hingga eksekusi dengan prinsip keadilan substantif dan proporsionalitas.


Namun, penguatan fungsi hukum tersebut memerlukan koreksi struktural dan kelembagaan. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, posisi kejaksaan memang dipertegas sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Akan tetapi, penguatan kelembagaan kejaksaan belum sepenuhnya diiringi oleh penguatan akuntabilitas dan transparansi.

Kejaksaan tetap berada dalam posisi dilematis: di satu sisi menjalankan fungsi yudisial, tetapi secara administratif berada dalam lingkup kekuasaan eksekutif. Ini menimbulkan persoalan independensi kelembagaan.


Dalam sistem presidensial yang mengadopsi separation of power, keberadaan lembaga penuntut umum semestinya memiliki derajat otonomi yang tinggi, mirip dengan Mahkamah Agung atau KPK. Ketergantungan kejaksaan pada kebijakan politik Presiden dalam aspek karier, mutasi, dan anggaran menjadi tantangan struktural yang belum tuntas.


Oleh karena itu menurut hemat penulis,  rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan untuk penguatan institusi kejaksaan antara lain : Pertama, perlu perumusan desain constitutional prosecution service yang menempatkan kejaksaan sebagai lembaga negara independen dalam struktur ketatanegaraan, bukan hanya sebagai lembaga pemerintahan. Hal ini dapat diakomodasi melalui amandemen terbatas UUD 1945 atau setidaknya penjabaran lebih tegas dalam undang-undang organik yang menjamin imunitas institusional jaksa dari intervensi politik.


Kedua, perlu diperkuat sistem checks and balances terhadap kewenangan jaksa. Prinsip dominus litis tidak boleh mengarah pada monopoli kebenaran hukum. Karena itu, fungsi kontrol dari lembaga seperti Komisi Kejaksaan, pengadilan praperadilan, dan mekanisme review perkara melalui lembaga peradilan yang independen harus dijamin keberlanjutannya.


Ketiga, dalam konteks penegakan hukum yang humanis dan berbasis keadilan restoratif, kejaksaan harus menjadi pelopor inovasi penuntutan alternatif. Jaksa tidak semestinya terjebak dalam logika penghukuman semata. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif adalah langkah progresif yang perlu diperluas dan dilembagakan, tidak hanya dalam perkara kecil, tetapi juga pada kasus-kasus yang berpotensi mengembalikan harmoni sosial.

Keempat, perlu rekonstruksi budaya hukum internal kejaksaan. Integritas jaksa adalah kunci utama dalam menegakkan keadilan. Tanpa jaksa yang jujur dan kompeten, sebaik apa pun aturan hukum akan kehilangan ruhnya. Reformasi birokrasi kejaksaan harus difokuskan pada rekrutmen terbuka, evaluasi kinerja berbasis merit, dan penguatan pengawasan internal yang transparan.


Kejaksaan bukan hanya pelaksana hukum, tetapi juga pelayan keadilan. Dengan mandat sebagai dominus litis, kejaksaan harus menggunakan kewenangannya bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk melindungi hak warga negara, menegakkan kebenaran, dan membela kepentingan umum. Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa seharusnya menjadi panggung refleksi: sejauh mana kejaksaan telah menjadi penjaga keadilan substantif, bukan sekadar pelaksana prosedur hukum formalistik.


Reformasi kejaksaan bukan pilihan, tetapi keniscayaan. Dan itu harus dimulai dari internal, dengan kesadaran bahwa kekuasaan menuntut bukanlah kuasa absolut, melainkan amanah konstitusional yang harus dijalankan secara akuntabel, adil, dan bermartabat.


Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke 65 Tahun.

في رأي
Meneguhkan Peran Kejaksaan sebagai Dominus Litis
Humas IAIN Parepare 21 يوليو 2025
أرشفة