Oleh : Sirajuddin, S.Pd., S.IPI., M.Pd. (Kepala Perpustakaan IAIN Parepare)
*Tulisan ini dipublikasi dalam rangka Hari Pustakawan Indonesia
Humas IAIN Parepare --- Perpustakaan telah mengalami transformasi luar biasa dalam beberapa dekade terakhir. Dari yang dulunya hanya menjadi ruang sunyi penyimpanan buku, kini beralih menjadi pusat informasi dan layanan literasi masyarakat dengan berbagai varian layanan yang inovatif. Layanan perpustakaan saat ini tidak hanya berupa koleksi tercetak, tetapi juga menyentuh ranah digital dengan hadirnya e-book, e-jurnal, database daring, hingga layanan multimedia.
Namun, di balik kemajuan itu, terdapat tantangan besar yang masih menghantui dunia perpustakaan di Indonesia, yaitu minimnya anggaran. Berdasarkan amanah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib mengalokasikan anggaran sekurang-kurangnya 5% dari anggaran belanja pendidikan untuk penyelenggaraan perpustakaan. Sayangnya, hingga kini realisasi angka tersebut masih jauh dari harapan di banyak daerah. Kondisi ini menyebabkan pengelola perpustakaan harus memutar otak dan berinovasi agar perpustakaan tetap hidup dan diminati masyarakat.
Di tengah keterbatasan itu, kreativitas pustakawan menjadi kunci. Berbagai layanan menarik terus dikembangkan untuk menjaring minat baca masyarakat, mulai dari kegiatan literasi anak, pojok baca keluarga, pelatihan literasi digital, hingga layanan sirkulasi buku berbasis aplikasi. Beberapa perpustakaan juga mulai menghadirkan ruang diskusi terbuka, pameran buku, bahkan layanan podcast literasi.
Upaya pemerintah pun mulai tampak, meskipun belum maksimal. Salah satunya dengan adanya rekruitmen pustakawan di beberapa lembaga pemerintah dan institusi pendidikan. Meski jumlahnya masih terbatas, langkah ini merupakan sinyal positif bahwa profesi pustakawan mulai memperoleh pengakuan yang lebih baik.
Selain itu, perhatian terhadap infrastruktur perpustakaan juga mulai diperlihatkan. Sebagai contoh, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berlokasi di Jakarta kini menjadi salah satu ikon nasional. Gedung megah dengan ketinggian 126,3 meter tersebut tercatat sebagai perpustakaan tertinggi di dunia (Perpusnas RI, 2020). Keberadaan fasilitas ini menjadi simbol bahwa perpustakaan tetap memiliki posisi strategis dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Tak bisa dipungkiri, peran pustakawan sebagai garda terdepan layanan informasi sangat penting di era informasi ini. Mereka tidak hanya bertugas melayani sirkulasi buku, melainkan juga berperan sebagai fasilitator literasi, pengelola informasi digital, bahkan edukator masyarakat dalam menghadapi arus informasi di era digital.
Perpustakaan sebagai pusat informasi harus terus bergerak maju. Kehadiran layanan digital seperti e-book dan e-jurnal menjadi jawaban atas kebutuhan generasi muda yang akrab dengan teknologi. Literasi tidak lagi sebatas membaca buku fisik di rak, tetapi juga melalui berbagai media daring yang mudah diakses di mana saja dan kapan saja.
Akhir kata, tulisan ini saya dedikasikan kepada seluruh pustakawan dan pengelola perpustakaan di Indonesia. Di tengah tantangan anggaran dan perubahan zaman, semangat untuk memajukan literasi bangsa harus tetap menyala. Dengan inovasi, kreativitas, dan kolaborasi, perpustakaan akan terus menjadi tempat berharga bagi lahirnya generasi cerdas, kritis, dan berbudaya baca.
Perpustakaan di Era Digital: Antara Tantangan Anggaran dan Semangat Literasi Bangsa