OPINI: E-Gosip dan Echochamber

14 Juli, 2021 oleh
webadmin1

Oleh: La Ode Arwah Rahman
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Parepare, Penggiat Media Culture Study.

Salah satu perangkat kenikmatan alami yang mampu dicipta manusia secara gratis adalah gosip. Mungkin karena gratis dan nikmat, seseorang rela menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membincangkan kehidupan orang lain. Setidaknya, dengan bergosip orang bisa melupakan kesulitannya, melupakan utangnya sekaligus menciptakan ilusi bahwa dirinya lebih suci dan tak memiliki keburukan apapun yang perlu ia khawatirkan yang mungkin bisa menjadi bahan gosip bagi orang lain.

Lebih awal disampaikan bahwa tulisan ini semata membahas gosip dari perspektif komunikasi, sehingga pembahasan yang dibangun di luar itu tidaklah relevan untuk diargumentasikan pada tulisan singkat ini. Ada dua hal yang akan dilihat, pertama gosip sebagai perekat sosial, dan kedua adalah gosip sebagai pencipta keretakan sosial. Keduanya akan didekati melalui pengamatan pada tren pola – pola komunikasi manusia modern yang serba elektronik.

E – Gosip (electronic gosip) atau gosip yang ‘ditularkan’ melalui perangkat teknologi elektronik khususnya internet, dampak buruknya tak kalah dahsyatnya dengan gosip yang dijajakan di tetangga atau warung-warung kopi. Namun di luar dampak buruk, di masa lalu gosip ditengarai menjadi salah satu bentuk komunikasi penting yang ditemukan genus homo, yang memungkinkan mereka mampu mengorganisasi kelompok lebih baik daripada beberapa spesies manusia sebelumnya.
Pun di era modern, gosip kembali menemukan relevansinya sebagai sarana strategis penyebaran informasi dan hiburan, serta kontrol dan perekat sosial. Gosip juga menjadi wadah strategis bagi para pemimpin menjaga sustainable kepemimpinan mereka.

Pemimpin kerap sengaja membiarkan ‘para kasim’ atau para pembisik yang ada di sekeliling mereka yang ingin mendapat privilege, menyebar intrik dan gosip sesama bawahan dengan tujuan mendapatkan informasi rahasia.

Gosip sebagaimana ditulis Harari dalam bukunya “Sapiens”, konon telah ada dan telah menjadi bagian dari peradaban manusia semenjak revolusi kognitif sekira 70.000 tahun lalu. Di masa itu, gosip memungkinkan kawanan manusia yang sebelumnya tak diperhitungkan, mampu mengembangkan kerjasama sosial yang lebih besar dan lebih baik, sehingga dapat mengatasi hambatan serta menaklukan kerasnya alam dan juga tantangan dan ancaman dari genus dan spesies lainnya.

Salah satu ciri unik sejati dan luar biasa dari komunikasi manusia bukanlah kemampuannya meneruskan informasi dan berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol rumit, melainkan kemampuannya menyampaikan informasi tentang hal-hal yang tidak tampak sama sekali. Hanya manusia yang bisa berbicara tentang segala jenis entitas yang belum dilihat, disentuh atau diendus.

Pada peradaban awal umat manusia, kemampuan ini digunakan untuk membangun kelompok sosial yang lebih besar dan lebih fleksibel melalui penciptaan mitos-mitos untuk dipercayai bersama. Melalui kemampuan bergosip mereka membangun komunikasi dan interaksi sosial tentang siapa yang layak dipercaya, siapa yang jujur, siapa penipu dan siapa layak menjadi pemimpin. Dengan kata lain, gosip menjadi alat efektif paling cepat ketika itu menciptakan kohesi sosial pada kelompok dengan jumlah anggota yang besar.

Seiring perkembangan kemajuan peradaban manusia utamanya dalam bertukar informasi dan berkomunikasi, orang bergosip tidak lagi hanya dilakukan secara langsung (luring), tetapi juga secara interface (daring). Sebuah studi membuktikan mayoritas besar komunikasi manusia masa kini, entah itu dalam bentuk surel, massenger, group whatsapp, atau percakapan telepon hingga kolom surat kabar adalah diisi gosip.

Bahkan dalam forum-forum percakapan akademik dan pertemuan para pemimpin dunia tingkat tinggi, tidak lengkap rasanya jika tak dibumbui gosip. Pendeknya, gosip tak hanya dilakukan mereka tak berpendidikan dan kalangan menengah ke bawah, orang-orang terpelajar dan kalangan jetset juga kerap tak bisa menghindarkan diri dari perangkap kegemaran bergosip.

Gosip atau ghibah juga tidak hanya melulu dilakukan oleh kaum perempuan, tetapi juga kaum lelaki. Sebuah relief pada Candi Borobudur yang dibangun di abad ke-8 masehi memperlihatkan seorang laki-laki dengan mimik wajah dan bibir yang sedang bergosip. Ini sekaligus menjadi bukti lain kebenaran tesis Harari bahwa gosip adalah bagian dari peradaban, dan telah menjadi perangkat komunikasi penting umat manusia dalam upayanya survive di muka bumi.

Dewasa ini orang-orang yang berkomunikasi melalui perangkat teknologi komunikasi modern seperti group-group whatsapp dan juga berbagai aplikasi percakapan lainnya, sebagian besar informasinya juga diisi gosip. Pada tipe-tipe kepribadian tentu bahkan gosip ini tak lagi dilakukan secara terbatas dan sembunyi-sembunyi, namun telah diumbar secara terbuka di wall media sosial mereka. Dapat dikata kemajuan teknologi komunikasi, telah membuat gosip makin ‘mengasyikkan’dan lestari.

Harus diakui, salah satu dampak buruk gosip adalah retaknya hubungan sosial yang melibatkan orang-orang dalam sebuah kelompok. Sama di dunia nyata, di ranah maya utamanya pada group komunikasi informal yang anggotanya saling mengenal dan akrab, meski pola komunikasi dipenuhi sikap ewuh pakewuh atau saling menjaga hati, namun tidak berarti potensi konflik akibat gosip tidak ada. Umumnya konflik yang muncul di group seperti itu bermula dari percakapan ringan dan persoalan tidak serius.

Hal berbeda terjadi di group-group formal, faktor kharisma dan kepemimpinan biasanya menjadi rem dan daya pengendali munculnya gosip, sekaligus mencegah konflik terbuka antara sesama anggota. Namun potensi konflik tetap saja ada, dan umumnya bersifat laten. Karena laten, maka hal paling mungkin dilakukan anggota kelompok yang berkonflik akibat respon berbeda terhadap sebuah informasi yang ada di group adalah saling mendiamkan.

Menarik mencermati gosip yang disebarkan melalui media sosial, utamanya di group-group khusus. Group-group yang dibentuk dengan tujuan-tujuan tertentu, umumnya paling gemar menyebar gosip. Anggota-anggota group biasanya homogen dan memiliki kepentingan dan atau afiliasi politik tertentu. Pada kasus seperti ini, gosip tak hanya menjadi sarana berbagi informasi, namun sengaja diciptakan untuk menjadi sarana penghibur diri antar sesama anggota.
Karena saling seringnya menyebar gosip dan informasi yang belum sepenuhnya terverifikasi, maka potensi untuk menyebar hoax juga menjadi terbuka lebar. Fatalnya, hoax dalam group-group seperti itu meski disadari awalnya bukan sebuah kebenaran, namun karena masifnya informasi hoax tentang sesuatu yang disampaikan oleh anggota group secara berulang, lambat laun informasi tersebut menjelma menjadi keyakinan yang diyakini kebenarannya.

Kondisi ini diperparah oleh sistem algoritma media sosial yang melacak apa saja yang sering diklik oleh seseorang. Facebook dan instagram misalnya diketahui memakai algoritma untuk menampilkan konten apa saja yang mirip dan atau disukai sebelumnya. Akibatnya, seseorang akan terus disajikan informasi yang sama dan tidak akan pernah disajikan informasi berbeda yang layak dan akurat untuk menemukan perspektif lain di internet.

Fenomena ini disebut Echochamber atau ruang gema, yakni situasi lingkungan di mana seseorang hanya menemukan pendapat atau informasi sejenis yang semakin memperkuat pendapatnya sendiri. Pendapat-pendapat berbeda berusaha dijauhkan darinya yang membuat informasi yang salah diyakini sebagai kebenaran. Secara sederhana ini bisa diamati di Facebook misalnya, status dan informasi yang ditampilkan di timeline seseorang adalah status status dari temannya yang pernah ia berinteraksi. Apakah sekadar like, komentar atau share.

Sementara status status yang tidak pernah ia berinteraksi sebelumnya dijauhkan oleh sistem algoritma. Akibatnya dalam banyak kasus, seseorang kesulitan mengubah perspektif dalam mempertimbangkan sudut pandang berbeda terhadap sebuah persoalan. Ini dapat kita saksikan misalnya pada ajang kontestasi politik yang sengit pada pemilu presiden lalu. Juga dalam momentum pemilukada. Saat itu banyak lahir group group khusus, baik di facebook, twitter, instagram maupun whatsapp.
Terlepas dampak positif dan negatif gosip dan echochamber, tak hanya agama, nilai nilai kearifan lokal masyarakat timur, misalnya pada suku Bugis Makassar, pada prinsipnya mencela kebiasaan bergosip ini. Karena itu, dibutuhkan literasi digital yang intens agar masyarakat dapat memanfaatkan internet, khususnya media sosial secara benar dan berguna, sehingga masyarakat memiliki perangkat pengetahuan dan skill dalam memilih dan memilah informasi yang tersedia. Wallahu a’lam bishawab

di dalam Berita
webadmin1 14 Juli, 2021