Skip ke Konten

Prof. Nurhayati, Perempuan Bugis Penjejak Ilmu

8 Oktober, 2025 oleh
Prof. Nurhayati, Perempuan Bugis Penjejak Ilmu
Humas IAIN Parepare

Humas IAIN Parepare - Di tengah hiruk pikuk modernitas, sosok perempuan dari pesisir Sinjai, Sulawesi Selatan, telah menorehkan jejak emas dalam dunia akademik Islam Indonesia. Prof. Hj. St. Nurhayati, yang lahir di Sinjai pada, 31 Desember 1964, kini berdiri tegak sebagai Guru Besar Ilmu Tasawuf dan Pemikiran Islam di IAIN Parepare. Tepat pada, Minggu (5/10/2025) di Auditorium IAIN Parepare, Prof. Hj. St. Nurhayati, resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Tasawuf dan Pemikiran Islam. Kisahnya adalah sebuah epik tentang keteguhan, siri' (harga diri), dan pacce (empati) dua nilai Bugis yang ia jadikan fondasi moral sejak kecil.


Dibesarkan dalam keluarga sederhana dan religius, Nurhayati meyakini bahwa pendidikan adalah warisan paling berharga. "Sejak kecil saya diajarkan untuk tidak menyerah dan selalu percaya bahwa ilmu adalah cahaya yang membimbing hidup," kenangnya.


Perjalanan akademiknya dimulai dari ruang kelas sederhana di Sekolah Dasar Sinjai, berlanjut ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Manimpahoi, dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kajuara. Lingkungan madrasah tak hanya memperkaya dasar agamanya, tetapi juga menumbuhkan benih kecintaan mendalam terhadap ilmu tasawuf dan filsafat Islam.


Langkah panjang itu membawanya ke IAIN Alauddin Makassar. Dari skripsi tentang Ali Syariati hingga tesis mengenai peran akal dalam tasawuf menurut al-Ghazali, setiap karya ilmiahnya menegaskan satu keyakinan, Tasawuf bukanlah sekadar ritual, melainkan sistem pengetahuan yang menyeimbangkan akal dan hati.


Puncaknya, disertasinya yang membahas Problema Manusia Modern dengan Solusi Tasawuf menurut Seyyed Hossein Nasr, membuktikan kedalaman analisisnya. Ia menjembatani filsafat Islam klasik dengan tantangan zaman digital.


“Tasawuf bukan sekadar wirid atau jalan sunyi, tetapi cara berpikir dan cara hidup yang menjaga keseimbangan batin di tengah hiruk-pikuk dunia modern,” ujarnya.


Sejak menjadi dosen pada tahun 1991, Prof. Nurhayati menunjukkan dedikasi luar biasa. Karier akademiknya mencapai titik tertinggi saat ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Tasawuf dan Pemikiran Islam pada tahun 2025 di IAIN Parepare. Baginya, jabatan ini adalah tanggung jawab moral untuk membimbing generasi muda agar cerdas secara intelektual dan matang secara spiritual.


Selain mengajar, ia juga dikenal sebagai pemimpin yang handal. Prof. Nurhayati pernah menjabat sebagai Wakil Dekan I hingga Dekan Fakultas Agama Islam di UMPAR, serta Ketua Program Studi S2 dan S3. Melalui posisi-posisi ini, ia membuktikan bahwa kepemimpinan di kampus adalah ikhtiar membangun tradisi keilmuan yang bermartabat dan berjiwa spiritual.


Kiprah Prof. Nurhayati tidak terbatas di ruang kuliah. Aktif di berbagai organisasi seperti Ketua Umum Wanita Islam Kota Parepare, Dewan Pakar ICMI dan MUI, serta pengurus di Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sulawesi Selatan, ia konsisten menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin di ruang publik.


Ia gencar memperjuangkan pemberdayaan perempuan, pendidikan karakter, dan dakwah kultural yang menyejukkan. "Dakwah harus menembus batas ruang, tidak cukup di mimbar masjid. Ia harus hadir di rumah tangga, kampus, dan masyarakat,” tegasnya.


Melalui karya-karya produktifnya, seperti Muhammadiyah: Konsep Wajah Islam Indonesia dan artikel internasional Sufism Path of Moderation, ia berkontribusi dalam membangun pemikiran Islam moderat yang menggabungkan rasionalitas dan spiritualitas.


Di balik segudang prestasi dan kesibukan, Prof. Nurhayati tetap merupakan sosok istri dari Prof. Dr. H. Mahsyar Idris dan ibu dari anak-anak berprestasi. Kesehariannya menjadi cerminan sempurna dari keseimbangan antara peran domestik dan profesional.


Prinsip hidupnya sederhana. “Ilmu harus berbuah amal, dan amal harus melahirkan keberkahan.”

Perjalanan Prof. Hj. St. Nurhayati adalah inspirasi bagi perempuan dan generasi muda Indonesia. Ia membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menjadi ilmuwan, seorang ibu bisa menjadi pemimpin, dan bahwa batas cita-cita hanyalah ilusi.


“Tasawuf bukan sekadar wirid, tetapi jalan hidup menjaga hati tetap jernih, akal tetap tajam, dan amal tetap tulus,” ucapnya.


Prof. Nurhayati, dengan dedikasi dan karyanya, terus menerangi jalan ilmu dan kehidupan, menjadi teladan bagaimana spiritualitas dan intelektualitas dapat berjalan seiring. (Ang/Irm/mif)

di dalam Berita
Arsip