Humas IAIN Parepare — Dalam forum ilmiah internasional Annual International Conference on Islamic Studies Plus (AICIS+) 2025 yang digelar di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok pada 29–30 Oktober, Mahyuddin, dosen Sosiologi Agama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, mempresentasikan hasil riset etnografisnya yang berjudul “Sharing the Sacred: Ma’renden Tedong as a Culturally Rooted Model for Peacebuilding in Mamasa, Eastern Indonesia.”
Mahyuddin merupakan lulusan S1 Sosiologi Universitas Negeri Makassar (UNM) dan S2 Magister Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan PhD in Social Science di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Penelitian yang ia paparkan dalam AICIS+ 2025 ini juga menjadi bagian dari rencana disertasi doktoralnya, di mana ia melibatkan supervisornya sebagai penulis pendamping dalam artikel ilmiah tersebut.
Penelitian ini mengangkat Ma’renden Tedong, sebuah ritual tradisional berbagi kerbau di dataran tinggi Mamasa, Sulawesi Barat, yang tidak hanya menjadi pesta adat, tetapi juga mekanisme perdamaian berbasis kearifan lokal. Dalam masyarakat Mamasa, Ma’renden Tedong mencerminkan nilai-nilai timbal balik, tanggung jawab bersama, dan kehormatan kolektif yang secara turun-temurun telah memperkuat solidaritas sosial lintas kelompok agama dan etnis.
Mahyuddin menjelaskan bahwa studi ini penting mengingat Mamasa merupakan salah satu daerah yang pernah dilanda konflik sosial bernuansa agama yang beririsan dengan politik lokal. Karena itu, ia mencoba mengidentifikasi peran lembaga lokal dalam proses rekonsiliasi konflik. Mahyuddin menggunakan pendekatan etnografi kualitatif dengan lokasi penelitian di tiga wilayah adat—Buntukasisi, Orobua, dan Mala’bo—yang memiliki peran penting dalam mengelola konflik antarkelompok dalam masyarakat.
Melalui observasi partisipatif, wawancara semi-terstruktur, serta penelusuran sejarah lisan, penelitian ini menggali bagaimana Ma’renden Tedong bertransformasi menjadi praktik sosial yang berperan dalam rekonsiliasi pascakonflik. Analisis data dilakukan dengan pendekatan tematik menggunakan kerangka pembangunan perdamaian John Paul Lederach serta teori antropologi pertukaran ritual.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa Ma’renden Tedong berfungsi ganda sebagai ritual dan kontrak sosial. Prosesi pemberian kerbau bagi pihak yang bersalah, disertai doa bersama, berkat, serta pengakuan publik terhadap setiap keluarga penyumbang menjadi simbol kesatuan dan saling ketergantungan. Dalam pelaksanaannya, pendeta Kristen dan imam Muslim hadir bersama untuk memimpin doa dan menyampaikan pesan perdamaian, menandakan bahwa pesta adat ini telah berkembang menjadi ruang lintas iman untuk harmoni sosial.
Lebih lanjut, Sekretaris LPM IAIN Parepare ini menemukan bahwa fungsi perdamaian ritual ini semakin kuat ketika dikaitkan dengan praktik ritual di Toraja seperti Ma’pasilaga Tedong (adu kerbau) yang kini direinterpretasi sebagai tontonan budaya tanpa kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal Mamasa memiliki kemampuan adaptif terhadap dinamika sosial-politik modern, sekaligus menegaskan bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan dalam membangun perdamaian berkelanjutan.
Menurut Mahyuddin, perdamaian di Mamasa bukan hanya kesepakatan politik, melainkan praktik yang hidup dan berulang, yang diwujudkan melalui berbagi makanan, doa, dan kerja sama komunal. “Ma’renden Tedong menunjukkan bahwa rekonsiliasi dapat tumbuh dari dalam masyarakat, melalui simbol dan tindakan yang dihayati bersama,” ujarnya dalam sesi presentasi.
Dalam rekomendasinya, Mahyuddin mendorong agar pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan mengakui Ma’renden Tedong sebagai warisan budaya takbenda yang memiliki nilai strategis dalam pembangunan perdamaian. Ia juga menyarankan agar ritual ini diintegrasikan dalam program rehabilitasi pascakonflik serta dijadikan model edukatif bagi pemimpin lokal untuk memperkuat partisipasi inklusif lintas agama.
Sebagai penutup, Mahyuddin menegaskan bahwa “Ma’renden Tedong bukan sekadar peninggalan leluhur, tetapi praktik hidup yang menjembatani perbedaan, mentransformasikan ingatan akan kekerasan, dan menambatkan perdamaian dalam ritme kehidupan sehari-hari.” Dengan semangat sharing the sacred—berbagi yang sakral—masyarakat Mamasa membuktikan bahwa ritual bisa menjadi jalan damai, di mana rekonsiliasi diwujudkan bukan hanya lewat kata-kata, tetapi melalui santapan bersama, sejarah yang diingat, dan ikatan kemanusiaan yang diperbarui. (tsf/alf)