Skip ke Konten

Dedi Mulyadi dan Militerisasi Anak Nakal

Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen IAIN Parepare
20 Mei, 2025 oleh
Humas IAIN Parepare

Opini -- Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini meluncurkan program kontroversial: membina anak-anak “nakal” melalui pelatihan bersama TNI. Narasi resminya menyebut bahwa anak-anak yang dianggap bermasalah, seperti pembangkang, perokok, pembolos, bahkan yang terlibat tawuran, akan “diserahkan” kepada TNI untuk dibina kedisiplinan dan nasionalismenya. Kebijakan ini menuai tepuk tangan dari sebagian kalangan, namun tak sedikit pula yang mencemaskan arahnya.


Pertanyaannya: benarkah ini solusi? Atau kita sedang menggiring pendidikan ke jalur yang keliru?

Pertama, secara filosofis, pendidikan bukan sekadar soal menertibkan perilaku, melainkan membentuk karakter dengan pendekatan yang humanis dan partisipatif. Anak “nakal” dalam tanda kutipbukan obyek kekerasan struktural, melainkan subyek yang harus diberdayakan. Ketika institusi militer dimasukkan ke dalam proses pembinaan anak, bahkan sebelum pendekatan psikologis, pedagogis, atau sosial digunakan secara maksimal, maka yang kita alami adalah pemindahan masalah ke ruang represi, bukan solusi.


Kedua, pendekatan kebijakan ini mengandung bias masa lalu. Kita bisa menyebutnya sebagai “militerisasi anak nakal”. Dalam konteks negara demokratis, upaya pembentukan karakter seharusnya dilakukan oleh lembaga pendidikan melalui guru, konselor, orang tua, serta lembaga perlindungan anak. Memasukkan TNI ke dalam proses pembinaan anak sekolah tanpa pelibatan penuh dari satuan pendidikan adalah bentuk pelemahan peran guru dan lembaga pendidikan.


Jika kita telaah secara yuridis formal kebijakan ini juga problematik. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (jo. UU 35/2014) menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengasuhan dalam lingkungan yang mendukung tumbuh kembangnya. Ini diperkuat oleh Pasal 54, yang mewajibkan negara melindungi anak dari kekerasan dan perlakuan yang membahayakan perkembangan mental dan fisik anak, baik di dalam maupun di luar lingkungan pendidikan.


Mengirim anak-anak bermasalah ke tangan militer, tanpa pendekatan edukatif yang memadai, membuka ruang bagi pelanggaran prinsip perlindungan anak. Apalagi, pendekatan militer pada dasarnya bukan dirancang untuk menangani dinamika psikososial remaja, melainkan untuk membentuk ketahanan fisik dan loyalitas struktural.


Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter menyatakan bahwa penanaman nilai integritas, religiusitas, nasionalisme, kemandirian, dan gotong royong merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tidak ada mandat yang menempatkan TNI sebagai aktor utama dalam pembentukan karakter anak didik.


Maka menurut penulis, secara regulasi, langkah gubernur ini sulit dibenarkan.

Bahkan dalam perspektif kebijakan publik, pendekatan yang diambil Gubernur Dedi Mulyadi tampak reaktif, bukan strategis. Alih-alih memperkuat sistem pendidikan, membangun kapasitas guru, atau mengembangkan kurikulum pembinaan karakter yang kontekstual, anggaran besar justru diarahkan untuk pelatihan militer terhadap anak-anak yang justru membutuhkan pendampingan psikososial. Ini bukan hanya tak efisien, tapi juga menyiratkan ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan yang sudah ada.


Sementara itu, bagaimana nasib anak-anak yang cerdas dan berprestasi? Apakah negara hanya akan hadir ketika anak terjebak masalah? Ketimpangan perhatian ini mempertegas bahwa kebijakan tersebut lebih bersifat populis, menyasar sensasi publik ketimbang substansi perbaikan pendidikan jangka panjang.

Apa yang terjadi di Jawa Barat ini adalah cermin dari kegamangan negara dalam mendidik anak bangsa. Ketika aparat pendidikan dikesampingkan dan anak-anak diserahkan pada institusi militer, maka kita bukan sedang membangun masa depan, melainkan menggali kembali trauma masa lalu. Ini bukan pendidikan, ini adalah kerja sama jangka pendek untuk tujuan pencitraan belaka.


Pendidikan yang ideal bukan yang menakut-nakuti, melainkan menginspirasi. Bukan yang mengandalkan sepatu laras, tetapi yang memperkuat pijakan etika dan akal sehat. Tugas kita adalah merawat generasi, lembaga pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu tapi juga membentuk karakter anak bangsa, bukan menghardiknya dengan pendekatan militer.


Gubernur Dedi Mulyadi sebaiknya menarik ulang kebijakan ini dan memperkuat sistem pendidikan dari dalam dengan mempercayai guru, mendukung konselor, membangun sistem yang lebih humanis, dan merawat potensi anak baik yang nakal maupun yang berprestasi. Karena dalam demokrasi, semua anak berhak mendapat perhatian dan pembinaan, tanpa diskriminasi cara dan tanpa intimidasi.

di dalam Opini
Humas IAIN Parepare 20 Mei 2025
Arsip