Oleh Tasrif, S. E., M.M.
Kehadiran Rektor IAIN Parepare, Prof. Dr. Hannani, M.Ag., dalam peringatan Maulid di Lapas Kelas II Parepare menjadi bukti nyata peran Kementerian Agama melalui PTKIN. Dengan mengusung Kurikulum Cinta, Kemenag tidak hanya membina di kampus, tetapi juga menyapa umat hingga ruang-ruang sosial yang sering terlupakan.
Kehadiran Rektor IAIN Parepare, Prof. Dr. Hannani, M.Ag., pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Lapas Kelas II Parepare bukan sekadar agenda seremonial. Ia mencerminkan kehadiran Kementerian Agama yang menjangkau seluruh umat, termasuk mereka yang sedang menjalani pembinaan di balik jeruji. Melalui perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN), Kemenag hadir bukan hanya sebagai penyelenggara pendidikan tinggi, tetapi juga sebagai pengayom moral dan spiritual masyarakat.
Momentum ini menjadi cermin bagaimana Kemenag ingin membumikan Kurikulum Cinta yang pernah digagas Menteri Agama. Pendidikan berbasis cinta adalah pendidikan yang mengedepankan empati, kepedulian, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam ceramahnya, Prof. Hannani menekankan bahwa Rasulullah SAW adalah teladan utama, tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah, dan bahwa warga binaan perlu mengubah cara pandang: bukan sekadar masuk penjara, melainkan masuk pesantren untuk memperbaiki diri.
Pesan tersebut adalah wujud cinta yang nyata. Cinta yang tidak menghakimi, tetapi mengayomi. Cinta yang tidak mengucilkan, tetapi merangkul. Cinta yang tidak berhenti di teori, tetapi hadir dalam praktik — seperti ketika Rektor memberikan ijazah dzikir sebagai bekal spiritual yang dapat diamalkan warga binaan sehari-hari. Inilah contoh bagaimana Kemenag melalui PTKIN menyapa umat dengan cara yang penuh kasih.
Tri Dharma Perguruan Tinggi menemukan relevansinya dalam peristiwa ini. Pendidikan tidak berhenti di kelas, penelitian tidak sekadar berakhir di jurnal, dan pengabdian tidak hanya terfokus pada kampus. Kemenag menegaskan bahwa perguruan tinggi Islam harus hadir di tengah-tengah masyarakat, bahkan di ruang-ruang sosial yang sering terlupakan. Lapas pun bisa menjadi laboratorium pengabdian dan ruang dakwah yang penuh cinta.
Lebih dari itu, peristiwa ini menegaskan wajah baru Kementerian Agama yang inklusif dan solutif. Kehadiran di Lapas menunjukkan bahwa bimbingan keagamaan bukan hanya untuk mereka yang “suci”, tetapi juga untuk mereka yang sedang menempuh jalan kembali. Dengan Kurikulum Cinta, Kemenag ingin memastikan bahwa setiap insan mendapat kesempatan untuk bangkit dan kembali menemukan jalan hidupnya.
Maka, hikmah Maulid di Lapas Kelas II Parepare bukanlah sekadar pengajian rutin. Ia adalah simbol bahwa Kementerian Agama, melalui PTKIN, hadir dengan paradigma cinta: menyinari, merangkul, dan membangkitkan. Dari kampus hingga balik jeruji, cinta menjadi kurikulum kehidupan yang menuntun umat menuju pribadi unggul, sebagaimana teladan Nabi Muhammad SAW yang dirayakan pada momentum mulia ini.
Kementerian Agama Hadir dengan Kurikulum Cinta: Dari Kampus hingga Balik Jeruji