“Agama jangan dijadikan alat politik,” ujar Gus Dur. Namun di era digital, kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Agama sering kali dijadikan senjata dalam konflik identitas dan penyebaran ujaran kebencian, terutama di media sosial. Narasi keagamaan yang dulunya menyejukkan kini berubah menjadi bahan bakar provokasi, diperkuat oleh algoritma yang menomorsatukan keterlibatan, bukan kebenaran.
Kondisi ini tercermin dalam temuan PASBANA, yang melibatkan 50 responden muda berusia 16–28 tahun. Mayoritas dari mereka mengaku sering menjumpai ujaran kebencian di media sosial, mengetahui bentuknya, dan menyadari dampaknya. Platform seperti X/Twitter, Instagram, dan TikTok menjadi ruang yang paling banyak disebut. Beberapa responden bahkan pernah menjadi korban langsung, namun terbatas hanya bisa diam atau melapor—dua pilihan yang sama-sama tidak menyelesaikan akar persoalan.
Fenomena ini menandakan bahwa moderasi beragama di era digital menghadapi tantangan yang kompleks. Strategi lama berbasis ceramah dan pendekatan konvensional tidak cukup untuk menjangkau ruang-ruang digital yang telah dipenuhi oleh konten ekstrem. Diperlukan pendekatan baru yang mampu menandingi logika algoritma, yaitu pendidikan interreligius dan literasi media berbasis etika.
Salah satu persoalan utama dari media sosial adalah cara kerjanya yang memperkuat konten pemicu emosi. Algoritma secara otomatis mendorong pengguna ke dalam echo chamber, ruang gema digital yang hanya menampilkan informasi yang sesuai keyakinan mereka. Dalam kondisi ini, konten moderat cenderung tenggelam oleh narasi ekstrem yang lebih sensasional dan cepat viral.
Konsekuensinya bukan hanya polarisasi opini, tetapi juga lahirnya kekerasan simbolik. Label seperti “kafir”, “liberal”, atau “sesat” digunakan secara serampangan untuk membungkam perbedaan. Bahkan dalam konteks politik, ujaran kebencian dimanfaatkan sebagai alat kampanye untuk menjatuhkan lawan. Ini menunjukkan bahwa narasi keagamaan tidak hanya terdistorsi, tetapi juga digunakan untuk memperkuat segregasi sosial.
Sebagian orang beranggapan bahwa algoritma hanya mencerminkan apa yang pengguna sukai. Namun kenyataannya lebih rumit: algoritma media sosial dirancang bukan untuk membimbing pada kebenaran, melainkan untuk mempertahankan perhatian dan keterlibatan. Konten yang memicu kemarahan atau kebencian sering kali menghasilkan lebih banyak klik dan komentar—dan itu berarti lebih menguntungkan bagi platform.
Inilah titik lemah sekaligus tantangan berat bagi moderasi beragama. Narasi damai dan inklusif sering kali tidak cukup "menjual" di mata algoritma. Moderasi keagamaan pun kalah cepat, kalah menarik, dan akhirnya kalah pengaruh. Maka, strategi tandingan harus dibangun di luar logika algoritma itu sendiri, yaitu melalui pendidikan yang membentuk kesadaran etis.
Dalam konteks ini, pendidikan interreligius menawarkan pendekatan yang lebih transformatif. Bukan hanya mengajarkan agama sebagai kumpulan doktrin, tetapi menanamkan nilai-nilai dialog, toleransi, dan persahabatan lintas iman. Pendidikan ini melatih keberagamaan yang reflektif dan terbuka (sikap yang sangat dibutuhkan di dunia digital yang penuh jebakan konflik).
Jika diterapkan dalam dunia digital, pendidikan ini dapat membentuk karakter warganet yang lebih sadar etika, kritis terhadap informasi, dan bijak dalam menyikapi perbedaan. Beberapa negara seperti Finlandia telah mengintegrasikan literasi digital dan etika beragama dalam kurikulum sejak dini. Indonesia pun perlu mengejar ketertinggalan ini, dengan melibatkan ormas keagamaan, pendidik, dan para influencer muda sebagai agen perubahan.
Moderasi beragama tidak akan berhasil jika terus bertumpu pada pendekatan yang lama, sementara lanskap digital terus berubah cepat. Ketika algoritma memperkuat kebencian, maka pendidikan yang kolaboratif dan berbasis nilai kemanusiaan menjadi kebutuhan mendesak. Kurikulum literasi media harus dirancang bukan hanya untuk membekali informasi, tetapi juga membentuk tanggung jawab moral dalam beragama.
Sebagai warga digital, kita semua punya peran. Mari lebih bijak dalam menyaring konten keagamaan, menolak narasi kebencian, dan menciptakan ruang digital yang ramah bagi iman, pikiran, dan kemanusiaan. Karena keberagaman bukan ancaman, melainkan anugerah yang harus dijaga bersama.
Biodata
Nur fadhilah amranadalah seorang mahasiswa di Prodi Pendidikan Agama Islam IAIN Parepare yang lahir di Maroangin, 24 Maret 2005. Fadhilah hobi membaca. Saat ini aktif beroganisasi. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected] IG: @_arrnyyyy
Media Sosial dan Narasi Kebencian: Tantangan Moderasi Beragama di Era Digital