Skip ke Konten

Menata Ulang Kewenangan Menerbitkan Izin Tambang

Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
13 Juni, 2025 oleh
Humas IAIN Parepare

Opini--Pencabutan izin pertambangan oleh Pemerintah Pusat di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali memunculkan perdebatan klasik seputar tata kelola sumber daya alam, siapa yang berwenang, siapa yang mengambil keputusan, dan siapa yang paling diuntungkan. Langkah yang diambil Kementerian Investasi/BKPM tersebut layak diapresiasi, namun tetap menyisakan pertanyaan mendasar mengapa izin itu bisa diberikan di wilayah konservasi yang menjadi habitat spesies endemik dan ruang hidup masyarakat adat?


Masalah ini bukan semata teknis administratif, melainkan persoalan tata negara dan arsitektur kekuasaan. Ketika otoritas pemberian izin tambang terkonsentrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, tanpa pengawasan efektif, maka praktik-praktik koruptif, konflik kepentingan, dan kerusakan lingkungan menjadi keniscayaan. Perizinan kerap kali bertransformasi menjadi alat transaksi politik dan ekonomi, yang justru melegitimasi perampasan ruang hidup masyarakat lokal.


Pasca diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2020 yang merevisi UU Minerba, kewenangan perizinan ditarik sepenuhnya ke pusat. Argumen yang diajukan adalah efisiensi dan kepastian hukum bagi investor. Namun kenyataannya, sentralisasi ini justru memperlebar jarak antara para pengambil kebijakan dengan masyarakat yang terdampak langsung. Partisipasi publik seringkali hanya formalitas, dan ketika terjadi konflik atau kerusakan lingkungan, tidak ada pihak yang bertanggung jawab secara nyata.


Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sumber daya alam adalah milik rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Istilah “dikuasai oleh negara” tidak dapat dimaknai sebagai dominasi pemerintah pusat semata, melainkan sebagai kewajiban konstitusional untuk mengelola sumber daya melalui mekanisme demokratis, inklusif, dan akuntabel.


Realitas di lapangan menunjukkan bahwa model pengelolaan tambang saat ini bersifat sentralistik, elitis, dan tertutup. Kasus Raja Ampat hanya salah satu contoh dari berbagai konflik yang sebelumnya muncul di Blok Wabu (Papua), Mandiodo (Sultra), Kutai Kartanegara (Kaltim) dan tambang emas di Sangihe (Sulut). 


Akses terhadap perizinan lebih mudah diperoleh korporasi besar, sementara masyarakat adat, komunitas lokal, dan kelompok rentan, seperti perempuan, justru terpinggirkan dan dianggap sebagai hambatan investasi.


Ketimpangan ini juga tercermin dalam penegakan hukum. Perusahaan yang melanggar aturan lingkungan atau lalai merehabilitasi area tambang kerap kali lolos dari sanksi. Sebaliknya, masyarakat yang memprotes atau mempertahankan tanahnya berisiko dikriminalisasi. Sistem hukum saat ini belum memberikan perlindungan memadai bagi hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan, sementara lembaga pengawas dan aparat hukum kerap tidak independen karena terjerat konflik kepentingan.


Penulis memandang perlu adanya reformasi mendasar dalam sistem perizinan tambang di Indonesia. Pertama, perlu dilakukan pembatasan terhadap kewenangan eksekutif dalam menerbitkan izin. Mekanisme checks and balances harus diperkuat, termasuk memberikan peran nyata kepada DPR, baik di pusat maupun daerah, dalam mengawasi proses pemberian izin. Partisipasi publik, terutama dari masyarakat terdampak dan organisasi masyarakat sipil, harus menjadi prasyarat legalitas izin tambang.


Kedua, harus ada transparansi total terkait perizinan tambang. Data mengenai konsesi, dokumen amdal, hingga struktur kepemilikan perusahaan harus dapat diakses publik. Tanpa keterbukaan, korupsi dan kolusi akan terus merajalela.


Ketiga, dasar penerbitan izin harus bergeser dari pendekatan administratif ke pendekatan ekologis berbasis ekoregion dan daya dukung lingkungan. Dalam hal ini, kontribusi akademisi, pakar lingkungan, serta warga lokal sangat vital. Evaluasi dampak lingkungan tidak boleh hanya menjadi formalitas legal, melainkan proses deliberatif yang menjamin keberlanjutan antar generasi.


Pencabutan izin di Raja Ampat mestinya menjadi momentum evaluasi menyeluruh, bukan sekadar langkah taktis atau manuver politik. Sudah saatnya negara menegaskan bahwa pembangunan harus berpijak pada etika lingkungan dan keadilan sosial. Tanpa itu, kekayaan alam hanya akan terus dieksploitasi demi kepentingan segelintir elit, sementara masyarakat dan lingkungan menanggung kerusakan jangka panjang.


Negara tidak boleh terus-menerus melanggengkan model tata kelola tambang yang feodalistik. Sudah waktunya kita menuntut pertambangan yang taat hukum, berpihak pada rakyat, dan berwawasan ekologis.


Disclaimer: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.

di dalam Opini
Humas IAIN Parepare 13 Juni 2025
Arsip