Menggapai Solidaritas: Together Protect Each Other

1 Februari, 2023 oleh
Hayana

Oleh: Mahyuddin, M.A (Dosen IAIN Parepare)

Opini— Benedict Anderson, sejarawan dan ilmuan politik, pernah berucap eksistensi suatu bangsa berawal dari adanya pikiran-pikiran bersama. Oleh Anderson disebutnya “komunitas-komunitas terbayang”. Bangsa yang dibayangkan adalah suatu komunitas besar yang selalu dipahami sebagai kesetiakawanan. Ia merasuk mendalam dan melebar luas hingga pada akhirnya melahirkan rasa persaudaraan.

Sepintas lalu, Benedict Anderson hendak menegaskan pada kita bahwa imajinasi bersama adalah tonggak-tonggak persatuan. Imajinasi adalah simpul-simpul yang berperan sebagai kekuatan pengikat persaudaraan. Ya, pikiran-pikiran bersama menyatukan kita dalam imajinasi kolektif sebagai suatu bangsa. Dengan perkataan lain, kita bersatu karena kesediaan kita untuk hidup bersama dan saling merangkul yang terus dirawat melalui imajinasi-imajinasi kebersamaan.

Perhatian masyarakat Indonesia bahkan dunia saat ini yang masih berjibaku melawan dan memutus mata rantai virus Corona (Covid-19), adalah waktu yang tepat untuk menguatkan kembali imajinasi-imajinasi itu. Laksana bumi yang sedang gersang, kita membutuhkan siraman-siraman air untuk menumbuhkan semangat persaudaraan, menyegarkan kembali persatuan, dan menyemai lebih erat lagi rasa solidaritas sosial.

Pijakan ini tentu saja sangat beralasan. Selain tidak satu pun negara yang merasa aman dari ancaman Corona, juga realitas bahwa bumi Indonesia dihuni oleh ratusan juta penduduk, sehingga rentan diterpa tsunami pasien dan kelaparan. Karena itu, imajinasi kolektif sebagai kekuatan-kekuatan bangsa hendak terus ditumbuhkembangkan dengan bergandengan tangan melakukan aksi nyata untuk menghindarkan bangsa ini dari tragedi kemanusiaan bersebab pandemi Corona.

Ujian Pandemi Covid-19

Saat ini masyarakat kita dihadapkan pada situasi yang tidak sedang baik-baik saja. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di semua negara. Mengutip pernyataan Yuval Noah Harari, sejarawan yang menulis buku spektakuler Homo Deus Masa Depan Umat Manusia. Bahwa bangsa manusia sedang menghadapi krisis global. Mungkin krisis terbesar dalam generasi kita.

Tatkala virus ini telah menyebar ke-202 negara dan menginfeksi 724.945 orang dengan jumlah kematin 34.041 jiwa (CSSE Jhons Hopkins University per 30 Maret 2020), seketika rutinitas terhenti dan terjadi gelombang yang berbalik, meminjam istilah Fritjof Capra, penulis buku Titik Balik Peradaban. Yaitu kita dihadapkan pada situasi krisis yang serius, suatu krisis yang kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kita. Ia telah memengaruhi aspek kesehatan dan mata pencaharian, hubungan sosial, ekonomi, teknologi hingga politik.

Di tanah air, penularan Covid-19 agaknya sudah sampai pada tahap tidak terbendung lagi. Betapa tidak, hampir di sebagian besar wilayah, telah masuk dalam zona merah lantaran terjangkit virus ini. Setiap hari banyak korban yang terpapar sampai meninggal. Data mutakhir menyebutkan, korban telah mencapai 1.677 orang (Detik.com per 1 April 2020). Tidak berhenti sampai di situ, tenaga medis (tim dokter dan perawat) dan pegiat kemanusiaan lainnya pun mulai kelagapan. Bahkan mulai bertumbangan menghadang pandemi ini di lapangan.

Inilah ujian-ujian bangsa kita saat ini. Kita tengah dihadapkan pada suatu kondisi yang berat dan tidak menentu. Epedimi ini tidak saja mengakibatkan kesehatan masyarakat Indonesia memburuk, tetapi juga membuat perekonomian nasional melemah, yang memengaruhi seluruh aspek sosial kehidupan kita. Itu tidak saja di Indonesia, tetapi di seluruh dunia yang sudah terpapar virus ini. Sampai-sampai negara adidaya seperti Amerika pun kalang kabut dibuatnya.

Jalan Buntu Phsycal Distancing

Setelah Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan maklumat perihal pentingnya phsycal distancing (kata ganti social distancing), seluruh dunia yang tengah menghadapi pandemi ini, menggelorakan kampanye itu. Wacana phsycal distancing kini begitu menggema di seantero penjuru dunia.

Di lini masa, orang- orang mulai menyuarakan pentingnya menghindari keramaian, perlunya tidak menjalin interaksi sosial yang intim, serta anjuran berdiam diri di rumah. Sampai-sampai fenomena ini direspons oleh pemerintah di berbagai negara dengan mulai menerapkan pembatasan rutinitas manusia. Orang-orang mulai bekerja dari rumah, sekolah-sekolah diliburkan, rumah-rumah ibadah disterilkan, sampai pada penutupan layanan-layanan publik.

Namun demikian, krisis phsycal distancing di masyarakat agaknya telah mencapai titik kulminasi dalam pekan-pekan terakhir ini. Selain pelaksanaanya yang sulit diterapkan, juga membawa ekses sosial ekonomi tersendiri bagi masyarakat terutama masyarakat kelas bawah.

Bagi masyarakat kelas menengah atas (saya menyebutnya sudah mapan dan bekerja di lembaga-lembaga formal), barangkali tidaklah menjadi masalah. Mereka bisa saja bekerja dari rumah, mengurung diri di rumah dengan segala ketercukupan kebutuhan ekonominya hingga tidak berinteraksi dengan siapa pun selama berhari-hari. Itu sangat memungkinkan.

Tetapi, bagaimana dengan buruh-buruh pabrik yang dilarang berhenti bekerja , para tukang becak, driver ojek, sopir angkutan umum, penjual-penjual keliling, nelayan dan buruh-buruh kasar lainnya? Apakah mereka juga bisa menerapkan itu? Jika mereka bertahan di situasi ini sampai batas waktu yang tidak ditentukan, maka mereka bisa saja kelaparan. Mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya dalam masa-masa itu.

Di sinilah jalan buntu itu bermula. Ada dilema tersendiri dari pembatasan sosial berskala besar. Satu sisi jika tidak diindahkan, maka akan membuat penyebaran pandemi ini semakin runyam. Seperti yang diungkap Anderson Cooper, penulis buku Dispatches from the Edge: A Memoir of War, Disasters and Survival dalam sebuah wawancara di sebuah TV. Bahwa jika kita tidak mengikuti anjuran “stay at home” atau social distancing, maka akan ada jutaan jiwa melayang sebab penyebaran pandemi ini begitu cepat melesat. Itulah mengapa physical distancing demikian dibutuhkan.

Sisi lain, jika pembatasan gerak ini tidak dibarengi dengan perlindungan sosial dan keberpihakan terhadap masyarakat kelas bawah (rakyat miskin), maka hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka. Memperkeruh lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty), meminjam istilah sosiolog Unair Bagong Suyanto. Ini bisa menimbulkan agresivitas masyarakat yang berbahaya bagi stabilitas negara. Mengapa? Sebab dalam kondisi ini masyarakat kelas bawah (terutama kaum miskin) berharap banyak pada kebaikan orang lain (uluran tangan) terlebih pada negara (insentive kebutuhan) untuk sekadar bertahan hidup.

Saatnya Kibarkan Gotongroyong

Ada secercah harapan tatkala para anggota parlemen yang terhormat di senayan sana, mulai terpanggil untuk berbagi. Di sebuah sidang paripurna pekan lalu, beberapa fraksi menginisiasi agar ada pemotongan gaji untuk membantu mereka yang membutuhkan semasa pemberlakukan phsycal distancing.

Semoga usulan itu bukan sekadar wacana. Saatnya belajar pada negara jiran Malaysia yang memangkas gaji para petinggi negaranya selama dua bulan. Pun bisa belajar dari negara Taiwan dan Korea Selatan bagaimana mendorong keterlibatan berbagai pihak seluas-luasnya untuk membasmi wabah. Kita bisa melihat bagaimana para pejabat memotong gajinya dan para artis berdonasi secara bersama-sama diikuti masyarakat umum.

Fenomena sosial di atas adalah gambaran dari apa yang disebut sosiolog Manuel Castells sebagai “network society” atau yang dinamakan Robert Putnam sebagai “modal sosial”. Yaitu solidaritas individu atau jalinan hubungan sosial yang dimanfaatkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang untuk mencapai tujuan bersama.

Itu saya kira tidaklah sulit untuk ditiru. Kerangka Yuval Noah Harari juga telah memberi penegasan kepada kita bahwa penangkal sesungguhnya dari epidemi bukanlah segregasi (jarak sosial), melainkan kerja sama. Apalagi kita memang memiliki warisan budaya “gotongroyong”. Seberat apapun permasalahan yang kita hadapi saat ini dalam masa perang melawan virus, akan menjadi ringan tatkala kita berjuang bersama.

Saya teringat tuturan tokoh bangsa kita Bung Hatta tentang cita-cita tolong-menolong rakyat Indonesia dalam buku Kumpulan Karangan. Menurutnya, sanubari rakyat Indonesia itu penuh dengan rasa bersama, kolektiviet. Kalau seseorang di desa hendak membuat rumah atau mengerjakan sawah ataupun ditimpa bala kematian, maka ia tak perlu membayar tukang atau menggaji kuli untuk menolongnya. Karena dia akan ditolong bersama oleh warga sedesa.

Merphin Panjaitan dalam bukunya “Peradaban Gotongroyong” juga memberi ulasan panjang tentang itu. Bahwa gotongroyong telah menjadi cara hidup bersama bangsa Indonesia untuk bertahan hidup dan melanggengkan keberadaannya dari generasi ke generasi. Ia telah menjadi kebutuhan bersama masyarakat sejak dahulu kala.

Pada masa ini, gotongroyong dapat menjadi jawaban terhadap beban berat menyingkirkan wabah ini. Kita bisa bangkit dari serangan epidemi ini jika memulai tindakan nyata yang didorong oleh rasa kemanusiaan untuk menolong yang menderita dan meringankan beban sesama tanpa pamrih.

Kita bisa belajar dari bangsa lain bagaimana menggalang solidaritas dan saling bertukar informasi tentang cara efektif menghentikan Corona. Bahwa untuk mengakhiri pendemi ini, kita perlu bergandengan tangan mengumpulkan segala daya kita untuk memenangkan pertarungan ini.

Oleh karena itu, solidaritas sosial menjadi tumpuan kita untuk bertahan saat ini. Dan bergotongroyong saya kira adalah salah satu jalan terbaik dalam menjawab tantangan itu. Untuk kebaikan bersama. Kita butuh kesukarelaan dalam semangat persaudaraan jika kita tidak ingin peradaban-peradaban yang selama ini kita semai berhenti berkembang, dan kemudian hilang ditelan waktu.

Daftar Bacaan

Anderson, Benedict R. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.

Cafra, Fritjof. 2007. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat. dan Kebangkitan Kebudayaan (Terjemahan). Bandung: Nuansa Cendekia.

Hatta, Mohammad. 1967. Kumpulan Karangan. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Panjaitan, Merphin.2013. Dari Gotongroyong ke Pancasila. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Panjaitan, Merphin.2016. Peradaban Gotongroyong. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Suyanto, Bagong. 2015. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: Intrans Publishing.

Https://time.com/5803225/yuval-noah-harari-coronavirus-humanity-leadership/?fbclid=IwAR235Vcb5Mu0goInIC2iZHNxUpUYU3MntCF0kqYkzL6ACyedctP_26fhfCs diakses tanggal 29 Maret 2020.

di dalam Opini
Hayana 1 Februari, 2023