Skip ke Konten

Menulis Ulang Sejarah, Untuk apa dan untuk siapa?

Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
4 Juni, 2025 oleh
Humas IAIN Parepare

Opini -- Beberapa waktu lalu, suatu siang di Senayan, suara ketok palu DPR RI mengesahkan anggaran ratusan miliar rupiah untuk proyek penulisan ulang sejarah nasional. Tidak banyak perdebatan substansial terdengar, seakan ini hanya proyek biasa, teknokratis dan administratif. Namun bagi publik yang kritis, keputusan ini bukan sekadar soal anggaran. Ia menyentuh inti dari identitas kolektif bangsa sejarah kita. Dan ketika sejarah hendak ditulis ulang, pertanyaan konstitusional pun muncul untuk kepentingan siapa sejarah dibentuk?


Di dalam perspektif hukum tata negara, sejarah bukan sekadar narasi tentang masa lalu. Ia adalah fondasi yang menopang legitimasi negara. Sejarah menjadi legitimasi lahirnya konstitusi, bentuk negara, sistem pemerintahan, hingga dasar pembentukan institusi pemerintah. Karena itu, perubahan narasi sejarah tak bisa dianggap netral. Ia sarat kepentingan, dan karena itulah perlu diawasi dengan lensa hukum tata negara yang kritis.


Konstitusi Indonesia tidak secara eksplisit mengatur soal sejarah, namun Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi yang benar. Kebenaran historis adalah bagian dari hak tersebut. Maka ketika negara memutuskan menulis ulang sejarah, tindakan itu tidak boleh berdiri di luar mekanisme akuntabilitas publik.

Apakah penulisan ulang sejarah ini untuk meluruskan kekeliruan historis, mengoreksi kejahatan Orde Baru, atau justru mengkonsolidasikan kembali kekuasaan melalui pengendalian narasi? Pertanyaan itu menjadi penting. Dalam praktiknya, sejarah adalah alat yang bisa dijadikan legitimasi politik, sebagaimana terlihat dari bagaimana Orde Baru merancang sejarah yang memutihkan peran militer dan menstigmatisasi kelompok kiri pasca-1965.


Penulisan ulang sejarah oleh negara adalah tindakan politik yang berdampak hukum. Dalam pandangan hukum tata negara, tindakan itu masuk dalam ranah kebijakan publik yang mesti tunduk pada prinsip keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas. Jika ketiganya diabaikan, maka negara bukan sedang meluruskan sejarah, tapi sedang membajak ingatan kolektif bangsa.


Siapa yang diberi wewenang untuk menentukan versi baru sejarah Indonesia? Apakah tim ahli sejarah dibentuk secara independen, atau berada dalam kendali eksekutif? Jika pemerintah menjadi aktor dominan, kita patut waspada terhadap potensi abuse of narrative power.


Dalam kerangka prinsip pembagian kekuasaan, tidak ada cabang kekuasaan yang diberi mandat mutlak atas kebenaran sejarah. Bahkan, dalam demokrasi konstitusional, negara tidak boleh menjadi satu-satunya sumber kebenaran. Ketika negara memonopoli narasi masa lalu, ia sedang menciptakan bahaya baru yaitu epistemic authoritarianism (otoritarianisme pengetahuan).


Di titik ini, DPR RI seharusnya tidak serta merta menyetujui anggaran, tanpa memastikan adanya sistem checks and balances. Proses penganggaran harus disertai syarat normatif, transparansi metodologi, keterlibatan sejarawan independen, partisipasi masyarakat sipil, dan evaluasi oleh lembaga negara lain seperti Ombudsman atau Komnas HAM, mengingat banyak aspek sejarah yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia.


Menurut penulis, Implikasi hukum dari penulisan ulang sejarah sangat luas. Pertama, pada aspek pendidikan. Narasi sejarah resmi akan dituangkan dalam buku-buku pelajaran. Maka generasi muda berpotensi mendapatkan versi tunggal sejarah yang belum tentu objektif. Ini berbahaya bagi pembentukan daya kritis warga negara, yang merupakan salah satu tujuan pendidikan menurut Pasal 31 UUD 1945.


Kedua, pada proses rekonsiliasi nasional. Banyak luka sejarah belum sembuh diantaranya tragedi 1965, DOM di Aceh, Timor Timur, dan Mei 1998. Jika sejarah ditulis ulang tanpa menghadirkan suara korban, maka negara sedang menutup pintu keadilan transisional. Padahal, pengakuan atas penderitaan masa lalu adalah syarat mutlak untuk membangun rekonsiliasi sejati.


Ketiga, potensi kriminalisasi. Dalam beberapa negara, narasi sejarah resmi digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat. Jika nanti muncul UU atau kebijakan yang mengkriminalkan “penyimpangan” dari versi sejarah resmi, maka negara telah melanggar prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang dilindungi UUD.


Sejarah adalah milik publik, bukan milik penguasa. Karena itu, negara hanya boleh menjadi fasilitator, bukan produsen tunggal kebenaran sejarah. Di negara demokratis, sejarah harus tetap terbuka untuk ditafsirkan, didebatkan, bahkan digugat.


Kita tidak anti pada ide penulisan ulang sejarah. Namun yang ditolak adalah jika proses itu berlangsung dalam gelap, sarat kepentingan politik, dan minim partisipasi. Negara tak boleh menjadikan sejarah sebagai alat pembenaran politik kekinian, apalagi menjadikannya instrumen hegemonik untuk menertibkan ingatan warga negara.


Jika penulisan ulang sejarah tidak dibarengi prinsip konstitusionalisme, maka yang kita bangun bukan masa depan beradab, melainkan distopia masa lalu yang disulap jadi narasi resmi. Kebenaran tidak lahir dari palu parlemen atau pena penguasa, tapi dari proses jujur yang mengakui keragaman pengalaman rakyat.


Sejarah bukan sekadar urusan naratif, melainkan ruang perebutan makna dan legitimasi yang mesti dijaga dalam rel konstitusi dan etika demokrasi.

di dalam Opini
Humas IAIN Parepare 4 Juni 2025
Arsip