Skip ke Konten

Tom Lembong, Tiada Kesalahan Tetap Dipidana

Oleh : Rusdianto Sudirman, Dosen IAIN Parepare, Ketua LBH GP Ansor Kota Parepare
19 Juli, 2025 oleh
Tom Lembong, Tiada Kesalahan Tetap Dipidana
Humas IAIN Parepare

Opini - Pernyataan hakim dalam perkara Tom Lembong yang menyatakan bahwa unsur kesalahan tidak diperlukan dalam pembuktian tindak pidana korupsi telah memicu kegelisahan akademik sekaligus keprihatinan mendalam atas arah penegakan hukum kita. Bila pernyataan itu benar adanya, maka sesungguhnya telah terjadi pengingkaran serius terhadap asas paling fundamental dalam hukum pidana: geen straf zonder schuld  tiada pidana tanpa kesalahan.


Asas ini bukan hanya sekadar ajaran teoretik yang bersifat akademis, melainkan telah menjadi jiwa dari seluruh sistem pertanggungjawaban pidana. Ia adalah fondasi moral dan legal yang membedakan sistem hukum modern dari praktik peradilan yang sewenang-wenang. Dalam doktrin hukum pidana, seseorang baru dapat dipidana apabila terbukti melakukan perbuatan pidana dan memiliki schuld, yakni bentuk kesalahan yang mencakup unsur kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa).


Memang benar, Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tidak secara eksplisit mencantumkan unsur kesalahan dalam rumusannya. Tetapi pemahaman normatif dan historis terhadap pasal tersebut, apalagi bagi hakim yang memahami asas-asas hukum, mestinya tidak menempatkan perumusan itu secara terpisah dari prinsip umum hukum pidana. Unsur "melawan hukum" dalam Pasal 2 tersebut tidak serta-merta berdiri sendiri; ia harus dipahami sebagai wederechtelijk yang melekat pada kehendak pelaku adanya sikap mens rea atau niat jahat.


Konstruksi ini sejatinya bukan barang baru. Bahkan Mahkamah Agung sendiri dalam banyak putusan, termasuk dalam Yurisprudensi MA No. 42 K/Kr/1964, telah menegaskan pentingnya pembuktian kesalahan sebagai bagian dari pertanggungjawaban pidana. Bahkan dalam sistem hukum Belanda yang menjadi referensi hukum kita, unsur schuld tidak pernah ditanggalkan dalam pengadilan pidana, termasuk dalam perkara korupsi.


Lebih lanjut, Buku I KUHP Nasional yang akan mulai berlaku 2 Januari 2026 mendatang, dengan tegas mempertegas keberadaan unsur kesalahan ini. Pasal 36 KUHP 2023 menyatakan:

"Setiap orang hanya dapat dipidana jika melakukan tindak pidana dengan kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan."

Hal ini bukanlah suatu pembaruan, melainkan penegasan terhadap prinsip universal yang seharusnya telah menjadi pegangan aparat penegak hukum sejak lama.


Oleh karena itu, jika benar pernyataan hakim dalam perkara Tom Lembong mengesampingkan unsur kesalahan, maka hal ini bukan hanya bertentangan dengan doktrin hukum pidana, tetapi juga menandakan sebuah kemunduran nalar hukum. Lalu, kita perlu bertanya: "Di mana hakim belajar hukum pidananya?"


Pernyataan semacam ini berbahaya bukan hanya karena berpotensi merugikan terdakwa, melainkan juga karena memperlihatkan gejala ketidakseriusan dalam menjunjung nilai-nilai keadilan substantif. Penegakan hukum bukan hanya soal menjatuhkan hukuman, tetapi soal menjaga integritas sistem hukum. Ketika asas schuld diabaikan, maka sistem pertanggungjawaban pidana kehilangan arah.


Sebagaimana dikatakan Gustav Radbruch, hukum tanpa keadilan bukanlah hukum, melainkan kekuasaan belaka. Dan keadilan dalam hukum pidana mustahil tercapai tanpa adanya kesalahan yang dibuktikan secara sah dan meyakinkan.


Akhirnya, penegakan hukum yang berpijak pada prinsip zero fault, zero punishment bukanlah idealisme utopis, tetapi prasyarat mutlak negara hukum yang beradab. Jika para hakim tidak lagi memegang teguh asas ini, maka kita patut khawatir: yang berjalan di ruang sidang bukanlah keadilan, tetapi kekuasaan yang diselubungi jubah hukum.

di dalam Opini
Tom Lembong, Tiada Kesalahan Tetap Dipidana
Humas IAIN Parepare 19 Juli 2025
Arsip