Skip to Content

Menjaga Emosi di Era Digital; Antara Eksperesi atau Manipulasi

6 July, 2025 by
Humas IAIN Parepare

By. Suherman Syach

(Eks Guru Bimbingan dan Konseling di Sekolah)

  

Saya termasuk pengguna media sosial yang aktif. Memiliki akun facebook sejak 2005 dan aktif hingga sekarang. Juga ada akun Instagram, TikTok, Twitter, dan Whatshapp. Selain menggunakan akun pribadi, karena pekerjaan juga mengelola sejumlah akun lembaga. Meski demikian, saya lebih aktif menggunakan akun-akun pribadi tersebut sebagai sumber informasi dibanding sebagai konten kreator (pembuat konten), kecuali akun lembaga.

 

Sebagai pengguna media sosial, kita dapat menemukan sejumlah fenomena konten yang tentu saja menarik untuk ditelaah dalam bingkai akademik. Media sosial bukan lagi sekedar sarana komuniksasi, penyampai informasi tetapi lebih dari ini sudah media luapan emosional dari penggunanya. Banyak kita jumpai orang tanpa segan lagi menyampaikan perasaannya, termasuk rasa amarah, rasa benci, rasa cinta dan berbagai perasaan emosi lainnya melalui media sosial, yang dulunya hanya berada ruang-ruang berbatas.

 

Di era digital saat ini, emosi bukan lagi sekadar perasaan pribadi yang disimpan dalam ruang batin. Emosi telah menjadi komoditas sosial yang dipertontonkan, dikonsumsi, dan bahkan dimanipulasi untuk berbagai kepentingan. Kemajuan teknologi informasi telah mengubah wajah komunikasi manusia secara drastis, termasuk cara manusia mengekspresikan emosinya kepada publik.

 

Dahulu, tangisan dan air mata mungkin cukup menjadi simbol kejujuran perasaan, terutama dalam konteks sosial atau politik. Namun, saat ini, ekspresi emosional tidak lagi sederhana. Dengan bantuan perangkat digital, seseorang bisa dengan mudah membangun citra emosional yang ingin ditampilkan kepada publik, apakah itu kesedihan, kemarahan, atau kepedulian.

 

Media sosial menjadi arena utama untuk mengekspresikan berbagai bentuk emosi. Facebook, Twitter, Instagram, hingga TikTok, memungkinkan pengguna menyampaikan isi hati hanya dengan satu klik. Namun, seperti kata Zuboff (2019) dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism, teknologi digital tidak hanya mencerminkan emosi manusia, tetapi juga membentuk dan mengarahkan perilaku emosional manusia itu sendiri.

 

Salah satu bentuk nyata dari manipulasi emosi publik adalah pencitraan yang sengaja dikonstruksi melalui konten digital. Video blusukan, dokumentasi pemberian bantuan, hingga rekaman ibadah seringkali disebarluaskan dengan narasi dramatis demi menarik simpati publik. Ini bukan hanya soal berbagi kebaikan, tetapi lebih kepada pengemasan citra agar terlihat empatik dan religius.

 

Tradisi agama dan budaya sebenarnya mengajarkan sebaliknya. Dalam Islam, misalnya, Rasulullah SAW mengajarkan untuk menyembunyikan sedekah agar tidak merusak keikhlasan. "Jika engkau bersedekah secara sembunyi-sembunyi, maka itu lebih baik bagimu" (QS. Al-Baqarah: 271). Demikian pula dalam ajaran Kristen, "Janganlah tangan kirimu tahu apa yang diperbuat tangan kananmu" (Matius 6:3). Nilai-nilai ini semakin memudar di tengah budaya eksibisionisme digital.

 

Kehidupan spiritual yang dahulu dibangun atas dasar kesunyian, pengendalian diri, dan keikhlasan, kini bergeser menjadi tontonan publik. Penampilan kesalehan dikurasi dengan rapi melalui filter dan caption, tetapi esensinya sering kosong. Inilah yang oleh Baudrillard disebut sebagai simulacra — realitas yang ditutupi oleh kepalsuan demi kepalsuan.

 

Tak berhenti sebatas itu, kecanggihan fitur AI membawa kreativitas tanpa batas lagi. Sebuah konten dapat dibuat dalam berbagai versi tanpa keruwetan. Foto diedit seperti aslinya dalam berbagai vesri. Muka yang sama dapat ditampilkan menjadi lebih mudah, lebih dewasa, lebih tua atau pun jompo. Begitu pun editing video yang dapat merangkai peristiwa dengan peristiwa lain yang sebenarnya tidak berhubungan menjadi rangkaian video yang utuh dan terlihat asli. Di situ, ada manipulasi. 

 

 

Menurut Hochschild, sosiolog yang terkenal dengan karyanya tentang sosiologi emosi menyebutkan, fenomena yang digambarkan di atas dapat menciptakan masyarakat yang emosional tetapi dangkal secara spiritual. Manusia lebih sibuk membangun citra ketimbang merawat keutuhan jiwanya. Menurutnya, kondisi tersebut dikenal sebagai emotional dissonance, yaitu ketika seseorang menampilkan emosi tertentu di hadapan publik tetapi tidak sesuai dengan perasaan batin sebenarnya.

 

Akibatnya, banyak individu mengalami keterasingan dengan dirinya sendiri. Mereka tidak lagi jujur pada emosi dan tidak mampu mengelola perasaan secara sehat. Emosi menjadi alat untuk mengukur popularitas dan validasi sosial. Kehidupan pribadi pun kian terbuka untuk dikomentari dan dihakimi publik. Mereka dapat mempengaruhi emosi publik dengan konten yang dimapulasi sedemikian rupa untuk memperoleh perhatian ata pun empati publik.

 

Perubahan ini turut mempengaruhi kohesi sosial. Interaksi antarmanusia yang seharusnya dibangun atas dasar empati dan kejujuran kini digantikan oleh relasi yang berbasis konten. Persahabatan, solidaritas, kepedulian dan nasehat-nasehat menjadi "aset digital" yang dipamerkan, bukan relasi autentik yang menguatkan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk mengembangkan spiritual quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual sebagai penyeimbang. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk hidup dengan makna, menjaga kesadaran diri, dan membangun nilai-nilai kebaikan secara konsisten (Ary Ginanjar).

 

Individu dengan kecerdasan spiritual tinggi tidak mudah tergoyahkan oleh tekanan sosial atau godaan popularitas digital. Mereka mampu menjaga emosi, tidak larut dalam arus eksibisi emosional, dan memilih jalan keheningan dalam kebaikan. Mereka sadar bahwa kebaikan sejati tidak butuh tepuk tangan.

 

Menapaki jalan spiritual tentu tidak mudah. Dibutuhkan kesediaan untuk berbeda, berani diam di tengah kegaduhan, dan konsisten dalam kebaikan meskipun tanpa sorotan. Mereka yang berada di jalan ini siap menghadapi konsekuensi sosial: kesepian, disalahpahami, atau bahkan dianggap tidak relevan.

 

Namun justru di situlah kedewasaan emosional dan spiritual diuji. Menurut Goleman (1995), individu yang mampu mengelola emosinya secara sehat akan lebih sukses dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam perspektif spiritual, pengendalian diri merupakan bagian dari tazkiyatun nafs — proses penyucian jiwa.

 

Maka, merawat emosi di era digital adalah sebuah bentuk jihad modern. Ini bukan jihad melawan orang lain, tetapi melawan dorongan diri sendiri untuk tampil, diakui, dan dipuja. Inilah jihad melawan ego, melawan hasrat eksistensi semu yang dibungkus dalam konten-konten digital.

 

Manusia digital akan dihadapkan pada dua pilihan: menjadi aktor dalam drama emosional digital atau menjadi penempuh jalan sunyi menuju kematangan jiwa. Pilihan ini menentukan kualitas hidup kita di tengah dunia yang kian riuh dengan kepalsuan. Merawat emosi bukan soal menyembunyikannya, tetapi menempatkannya secara bijak agar hidup tetap bermakna

 

in News
Humas IAIN Parepare July 6, 2025
Archive