Oleh Tasrif, S. E., M.M.
Humas IAIN Parepare --- Cinta adalah pilihan. Ia bisa berupa keinginan menjadi guru yang memberi dan menuntun, atau kerendahan hati untuk menjadi murid yang belajar dan menerima. Cinta juga bisa hadir sebagai dilema sederhana: apakah kita ingin membawa pulang bunga indah yang ditemukan di pinggir jalan, atau membiarkannya tetap tumbuh pada tempatnya agar keindahannya terjaga lebih lama?
Sejatinya, cinta adalah ujian kedewasaan. Ia mengajarkan bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki, dan merelakan tidak selalu berarti kehilangan. Menjadi “guru” dalam cinta berarti berani memberi meski tanpa balasan, sementara menjadi “murid” berarti siap belajar bahwa cinta bukan sekadar keinginan, melainkan pelajaran hidup yang menuntun kita pada kebijaksanaan.
Lebih dari itu, cinta sejatinya tidak untuk mendominasi. Cinta yang sesungguhnya adalah esensi kebebasan bagi yang dicintai—ia memberi ruang untuk tumbuh, bernapas, dan menjadi dirinya sendiri. Membawa pulang bunga mungkin memberi kepuasan sesaat, tetapi membiarkannya pada akarnya justru menegaskan makna cinta yang dewasa: rela melihat keindahan tanpa harus menggenggamnya.
Cinta bukan sekadar diskusi panjang atau kata-kata manis yang diulang-ulang. Ia adalah aksi dan reaksi—tindakan nyata yang menjaga, merawat, dan melindungi, sekaligus kesiapan untuk menerima konsekuensi dari pilihan itu.
Pesan bijak dari Jampue mengingatkan kita: “Jangan pernah memenjarakan yang kamu cintai, sebab cinta yang sejati bukanlah belenggu, melainkan kebebasan.”
Pada akhirnya, cinta adalah keberanian untuk memilih tanpa serakah, kebijaksanaan untuk melepas tanpa kehilangan, dan ketulusan untuk memberi tanpa menguasai. Di situlah cinta menemukan wajahnya yang paling murni—sebagai jalan yang tidak mengekang, melainkan membebaskan.
Pesan Cinta dari Jampue: Antara Memiliki dan Membiarkan