Opini - Di penghujung Agustus 2025, jalanan Indonesia kembali menjadi panggung drama politik yang penuh paradoks. Dari Makassar hingga Jakarta, mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil turun ke jalan dengan spanduk dan suara lantang. Namun, di balik lautan protes itu, terselip episode gelap, mulai dari pembakaran kantor pemerintah, penjarahan rumah pejabat, hingga kendaraan yang dilalap api. Apa yang semula diniatkan sebagai demonstrasi moral, berbalik wajah menjadi potret anarki yang menakutkan. Lantas, benarkah ini suara rakyat, ataukah suara rakyat yang sedang dibajak oleh kepentingan lain?
Di titik inilah teori komunikasi dan sosiologi memberi kita kaca pembesar untuk membaca kompleksitas. Kenneth Burke (1969) dengan dramatismenya mengajarkan bahwa politik adalah panggung, dan para aktor membawa “drama” dengan simbol dan narasi yang mereka pilih. Demonstrasi sejatinya adalah ekspresi rakyat atas kegelisahan sosial seperti harga-harga yang mencekik, pendidikan yang kian mahal, pajak yang meroket, hingga daya beli yang melemah.
Situasi sulit ini semakin diperparah dengan arogansi dan egoisme yang dipertontonkan wakil rakyat. Namun ketika ada api yang membakar dan tangan-tangan gelap menyusup, panggung aksi itu berubah dari aspirasi rakyat menjadi komedi kekuasaan. Rakyat bicara tentang penderitaan, tetapi elite membelokkannya menjadi alat tawar-menawar politik.
Jika dilihat dari narrative paradigm Walter Fisher (1984), demonstrasi adalah kisah yang dituturkan oleh rakyat kepada negara. Kisah ini bukan sekadar fakta, tetapi cerita yang mengandung nilai dan makna. Narasi tentang ketidakadilan, ketimpangan, dan pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan. Tetapi sebagaimana cerita, ia bisa disusupi plot baru. Tangan oligarki dan non-state actor menambahkan adegan kekerasan, sehingga publik yang semula simpati mulai menggeleng mencurigai. Inilah yang oleh Fisher disebut narrative coherence dan narrative fidelity: ketika narasi kehilangan koherensi dan kesetiaan pada kebenaran moralnya, ia kehilangan daya persuasinya.
Fenomena ini juga dapat dibaca melalui kacamata teori agenda setting McCombs dan Shaw (1972). Media, terutama televisi nasional dan portal daring besar, justru lebih menyorot insiden pembakaran ketimbang substansi tuntutan. Akibatnya, opini publik diarahkan untuk melihat demonstrasi sebagai ancaman ketertiban, bukan sebagai jeritan keadilan. Padahal, seperti diingatkan Habermas (1984), ruang publik semestinya menjadi tempat di mana argumen diuji, bukan sekadar tontonan untuk ikut menghakimi.
Namun teori tidak berhenti pada legitimasi gerakan sipil. Kita juga perlu mencurigai adanya pembajakan narasi. Di sini perspektif kritis Adorno dan Horkheimer (1944) tentang industri budaya menemukan relevansinya. Mereka meyakinkan kita bahwa teks, simbol, musik, bahkan slogan bisa direkayasa untuk kepentingan kapital dan politik. Ketika demonstrasi menjadi viral di TikTok dan Instagram, ia bukan lagi sekadar gerakan moral, tetapi juga komoditas tontonan. Dari sinilah elite dan oligarki masuk. Mereka mengubah gerakan sipil menjadi kapital simbolik yang bisa diperdagangkan di meja politik.
Selain itu, teori framing Entman (1993) dapat memperlihatkan bagaimana media mengemas peristiwa dengan bingkai tertentu. Dalam kasus ini, “anarki” lebih laku dijual ketimbang “aspirasi murni”. Maka publik pun digiring untuk percaya bahwa demonstrasi hanyalah huru-hara, sementara elite yang sebenarnya sedang menunggangi situasi dan lolos dari sorotan. Framing bekerja ibarat cermin bengkok dimana wajah rakyat tampak menyeramkan, padahal kegelisahan hidup kian mencekam.
Jika kita tarik lebih jauh, dinamika demonstrasi ini seolah mengulang siklus lama politik Indonesia. Sejarah mencatat bagaimana gerakan rakyat seringkali dibelokkan, dari Reformasi 1998 hingga aksi-aksi jalanan berikutnya. Oligarki, aktor non-negara, bahkan kelompok dalam lingkaran kekuasaan selalu mencari celah untuk menunggangi momentum. Demonstrasi adalah kuda liar; rakyat menungganginya dengan idealisme, tetapi begitu ia berlari kencang, tali kendali direbut oleh penunggang yang lebih lihai dan lebih culas.
Namun tidak adil rasanya bila semua disapu rata sebagai rekayasa. Di banyak kota, demonstrasi berlangsung damai, penuh kreativitas, bahkan membawa humor khas Gen-Z yang menyindir satir. Suara damai itu mungkin lirih tapi tetap mewakili nurani. Di titik ini, teori spiral of silence Noelle-Neumann (1974) membantu kita memahami keberanian sebagian kelompok untuk tetap bersuara meski semua mata bersorak pada api-api yang membara. Mereka menolak diam di tengah arus represi opini. Suara-suara inilah yang perlu dirawat agar tidak hilang ditelan framing anarki.
Publik hari ini memang bingung, terombang-ambing antara empati pada penderitaan rakyat dan kecemasan atas aksi destruktif. Kebingungan ini adalah ruang abu-abu yang justru dimanfaatkan oleh oligarki dan elite politik untuk memperkuat narasi mereka sendiri. Mereka berkata: “Lihatlah, rakyat tidak siap berdemokrasi.” Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah pembegalan orientasi: suara rakyat diubah jalurnya, dihadapkan pada stigma, dan dijadikan tumbal untuk kepentingan tawar-menawar kekuasaan.
Di sinilah peran akademisi, media independen, dan masyarakat sipil menjadi penting. Tugas kita bukan sekadar mengutuk api yang membakar, tetapi mencari siapa yang membawa bensin. Demokrasi membutuhkan kritik yang jernih, bukan sekadar sensasi. Bila tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam drama besar yang dimainkan oleh elite dan oligarki, sementara suara rakyat terkubur oleh tumpukan opini.
Demonstrasi memang selalu menghadirkan ambivalensi. Ia bisa menjadi nyanyian kebebasan, bisa pula berubah menjadi orkestrasi kekacauan. Namun bila kita jeli membaca simbol, narasi, dan framing yang bekerja, kita akan tahu bahwa ada upaya sistematis untuk membelokkan wacana. Rakyat turun dengan aspirasi, tetapi kepentingan lain menyalakan api. Rakyat menulis kisah perlawanan, tetapi naskahnya direvisi oleh sutradara bayangan.
Maka, jangan buru-buru menghakimi rakyat. Yang perlu dicurigai adalah mereka yang bersembunyi di balik asap. Sebab demonstrasi yang dibegal bukan sekadar peristiwa sosial, melainkan cermin getir politik kita. Rakyat berteriak, elite bersiasat, dan demokrasi kembali dipertaruhkan di jalanan.
Demonstrasi yang Dibajak: Antara Aspirasi Publik dan Manuver Elite