Skip to Content

Di Mana Batas antara Lelucon dan Kebenaran?

Oleh : Luthfiyah Mahrusah, Mahasiswa PAI IAIN Parepare
20 June, 2025 by
Humas IAIN Parepare

Opini -- Pernahkah Anda mendengar kalimat yang terdengar lucu, tapi setelah direnungkan, justru terasa menggelitik nurani? Salah satunya datang dari film Walid, yang viral dengan ungkapan: “Walid nak Dewi, boleh.” Banyak yang menertawakannya. Namun, apakah benar itu hanya sekadar lelucon?

Kalimat itu terlihat ringan, tetapi menyimpan pertanyaan yang lebih dalam: apakah kita masih bisa membedakan antara keyakinan yang tulus dan keinginan pribadi yang dibungkus ajaran?  Dalam konteks film, Walid menyatakan perasaannya kepada Dewi, anggota baru sebuah kelompok religius. Di balik kata-katanya, tersirat bagaimana agama bisa dimanfaatkan untuk mendukung ambisi pribadi, bahkan cinta sekalipun.

Fenomena ini bukan hanya cerita fiksi. Dalam kehidupan nyata, kita sering menemukan bagaimana sebagian orang memilih-milih ajaran agama sesuai kebutuhan. Nilai-nilai agama dijadikan pembenaran, bukan tuntunan. Ini membuat kita bertanya-tanya: apakah agama masih dijalani dengan kesungguhan, atau hanya dipakai sebagai alat untuk mendapatkan legitimasi sosial atau kepentingan pribadi?

Kritik seperti ini penting, apalagi di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia. Untungnya, data dari Kementerian Agama menunjukkan bahwa Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tahun 2024 mencapai 76,47, meningkat dari tahun sebelumnya. Ini menandakan bahwa semangat hidup berdampingan makin tumbuh. Salah satu faktor pendorongnya adalah kampanye moderasi beragama, yang mengajak umat untuk bersikap seimbang: tidak ekstrem, tidak juga mengabaikan prinsip.

Moderasi inilah yang menjadi jalan tengah. Ia mengajarkan bahwa beragama bukan hanya soal meyakini kebenaran, tapi juga tentang cara memperlakukan orang lain yang berbeda. Toleransi tidak berarti mengorbankan iman, melainkan menunjukkan bahwa kita mampu menjaga keyakinan sendiri tanpa merendahkan keyakinan orang lain. Di sinilah kalimat “Walid nak Dewi, boleh” menjadi menarik untuk direnungkan. Meski terdengar lucu dan ringan, kalimat ini muncul dari konteks film yang menunjukkan bagaimana agama bisa dimanfaatkan demi kepentingan pribadi. Dalam arti itu, lelucon ini bukan sekadar candaan, tetapi cermin yang memantulkan cara sebagian orang memaknai agama. Kita bisa tertawa saat mendengarnya, tapi setelah itu, mari bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah cukup adil dalam beragama, atau justru menjadikannya sebagai alat pembenaran atas kehendak pribadi?

Refleksi ini penting, terutama bagi generasi muda. Kita hidup di zaman ketika informasi dan tafsir agama menyebar dengan cepat. Namun, cepatnya akses tak selalu sebanding dengan dalamnya pemahaman. Kita dituntut untuk lebih bijak: memilah, menyaring, dan merenungi apa yang kita yakini, bukan sekadar meniru. Keberagamaan yang dewasa bukan hanya diukur dari seberapa sering kita berbicara tentang iman, tetapi dari bagaimana kita memperlakukan sesama manusia dengan hormat, adil, dan penuh empati.

Pada akhirnya, kita tidak sedang diajak untuk menertawakan satu kalimat, melainkan untuk melihat diri sendiri melalui cermin yang mungkin tak nyaman. Kalimat “Walid nak Dewi, boleh” menjadi titik masuk untuk menyadari bahwa keberagamaan sejati bukan terletak pada seberapa sering kita mengucap simbol, tetapi pada seberapa jujur kita memperlakukan agama sebagai jalan hidup, bukan alat kendali. Bila tawa bisa membuka kesadaran, maka mungkin di sanalah letak nilainyam bukan agar kita berhenti tertawa, tetapi agar setelahnya, kita mulai berpikir lebih jernih tentang apa yang benar-benar kita yakini.

***

BIOGRAFI PENULIS

Luthfiyah Mahrusah, lahir di Enrekang, 20 Juni 2005. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam di IAIN Parepare. Aktif sebagai Koordinator Esai dan Buku Forkim IAIN Parepare (2025–2026), Pengurus HMPS PAI (2024–2025), dan Pengurus Turun Tangan Cabang Parepare. Fokus pada isu pendidikan, toleransi, dan pemberdayaan masyarakat.

Email: [email protected]

Humas IAIN Parepare June 20, 2025
Archive