Skip to Content

Hentikan Victim Blaming: Pelaku Diam, Korban Dihabisi dengan Kata-Kata

oleh: Dwi Syuhada, Mahasiswa PAI IAIN Parepare
16 June, 2025 by
Humas IAIN Parepare

Opini -- Sering kali terdengar pernyataan-pernyataan seperti, “Kalau tidak mau dilecehkan, jangan pakai baju seperti itu,” atau “Kenapa tidak melawan?” serta mempertanyakan, “Kenapa tidak berteriak?”

Kalimat-kalimat semacam ini, meskipun sekilas terdengar seperti nasihat atau kekhawatiran. Tapi, mari kita renungkan sejenak, apakah adil jika korban kekerasan seksual justru disalahkan atas luka yang mereka alami?

Inilah yang disebut victim blaming yakni budaya menyalahkan korban. Ini bukan fenomena baru, namun dampaknya nyata dan sangat menyakitkan. Alih-alih diberi ruang aman untuk pulih, korban malah dihakimi. Mereka dianggap “mengundang” kekerasan karena pakaian, sikap, atau bahkan sekadar keberadaan mereka di suatu tempat.

Padahal, data berkata sebaliknya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2018 terhadap 62.224 responden, ditemukan bahwa sebagian besar korban pelecehan seksual tidak mengenakan pakaian terbuka saat mengalami pelecehan. Justru mayoritas pelecehan terjadi pada mereka yang memakai rok dan celana (17,47%), baju lengan panjang (15,82%), seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), serta berhijab pendek atau sedang (13,20%). Bahkan korban yang mengenakan hijab panjang (3,68%) dan cadar (0,17%) pun tidak luput dari pelecehan. Survei ini juga mengungkap bahwa sebagian besar kasus pelecehan terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%), bukan malam hari sebagaimana yang sering diasumsikan. Fakta-fakta ini membuktikan bahwa paradigma yang menyalahkan pakaian, waktu, atau lokasi korban adalah keliru dan tidak berdasar.

Lebih memilukan lagi, budaya ini tidak hanya berkembang di masyarakat umum, tapi juga merasuk hingga ke institusi yang seharusnya menjadi ruang aman. Masih ingat kasus pelecehan di Universitas Hasanuddin pada tahun 2024? Korbannya seorang mahasiswi, pelakunya seorang dosen. Namun, yang pertama kali disorot bukanlah perilaku pelaku, melainkan… kenapa korban bisa berada di situ. Bahkan pihak kampus sempat dikritik karena penanganannya yang lambat dan kurang berpihak. Miris, bukan?

Jika ditelusuri lebih dalam, budaya victim blaming sering tersembunyi di balik kalimat yang seolah peduli, seperti “Kamu harusnya lebih hati-hati,” atau “Kenapa tidak langsung cerita?” Meski terdengar ringan, ucapan seperti ini dapat melukai korban dan menghalangi mereka untuk berbicara. Ketakutan akan disalahkan membuat luka makin sulit pulih.

Trauma kekerasan seksual sendiri sudah sangat berat. Ditambah tekanan sosial, korban bisa mengalami depresi, rasa bersalah, bahkan keinginan mengakhiri hidup. Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, pun menegaskan bahwa victim blaming memperparah kondisi psikologis korban.

Padahal, secara hukum dan kemanusiaan, yang bersalah adalah pelaku, bukan korban. Kekerasan seksual bukan tentang pakaian, tempat, atau waktu, tapi tentang penyalahgunaan kuasa. Negara telah merespons lewat UU TPKS dan ratifikasi CEDAW. Namun tanpa empati dari masyarakat, hukum hanya jadi tulisan yang hampa makna.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Yang kita butuhkan adalah keberpihakan yang sungguh-sungguh. Kita perlu masyarakat yang percaya dan mendukung korban. Kita butuh sekolah dan kampus yang mengajarkan empati, bukan ikut menyudutkan. Kita butuh media sosial yang jadi ruang aman, bukan tempat cibiran terhadap mereka yang berani bersuara. Karena pada dasarnya, luka bukan sesuatu yang harus diuji kebenarannya di ruang publik.

Meskipun tidak semua orang mengalami kekerasan seksual, setiap individu dapat menjadi bagian dari perubahan. Caranya adalah dengan berhenti menghakimi, mulai mendengarkan, dan mengubah pola pikir dari menyalahkan korban menjadi melindungi mereka. Sebab yang bersalah adalah pelaku, bukan korban. Mengakhiri budaya menyalahkan korban dapat menjadi langkah awal dalam membantu proses pemulihan mereka.

***

Dwi Syuhada atau kerap disapa Disyu, lahir di Kota Parepare kelahiran 2005. Status saat ini sebagai Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Parepare (IAIN Parepare), Program Studi Pendidikan Agama Islam. Penulis cukup aktif di media sosial dengan username Instagram: @disyuhda_

Humas IAIN Parepare June 16, 2025
Archive