Skip to Content

Mendidik dengan Hati, Memimpin dengan Ilmu : Fiqhi Siyasah untuk Guru

Oleh : Badruzzaman Nawawi (Dosen HTN IAIN Parepare)
25 November, 2025 by
Mendidik dengan Hati, Memimpin dengan Ilmu : Fiqhi Siyasah untuk Guru
Humas IAIN Parepare
| No comments yet

“Guru bukan sekadar pengajar. Guru adalah pemimpin yang mempengaruhi masa depan bangsa.”

Hari Guru Nasional selalu menjadi momentum penting untuk bercermin: apakah kita—para pendidik—sudah mendidik dengan hati dan memimpin dengan ilmu? Sebab, guru bukan hanya profesi. Ia adalah amanah, ibadah, bahkan politik moral yang menentukan arah masyarakat.
Dalam Fiqhi Siyasah—ilmu politik dalam Islam—ada satu prinsip yang sangat relevan bagi guru:
“Al-ra‘iy mas’ûlun ‘an ra‘iyyatihi”
"Setiap pemimpin adalah penanggung jawab atas yang ia pimpin.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Guru adalah ra‘iy—pemimpin—bagi murid-muridnya. Ia memimpin bukan dengan jabatan, tetapi dengan keteladanan, keilmuan, dan kelembutan hati.

Guru dalam Perspektif Fiqhi Siyasah: Pemimpin Moral Umat

Fiqhi Siyasah mengajarkan bahwa pemimpin ideal harus memenuhi dua unsur:
• Amanah (Integritas Hati)
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…”
(QS. An-Nisa’: 58)
Amanah bukan sekadar jujur terhadap materi pelajaran, tetapi—lebih besar dari itu—jujur pada masa depan anak bangsa. Guru adalah penjaga peradaban. Apa yang ia ajarkan hari ini akan melahirkan pemimpin masa depan.
• Kifayah (Kompetensi Ilmu)
Dalam QS. Al-Mujadilah: 11, Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Ilmu adalah modal kepemimpinan. Guru yang berilmu membuka jalan terang bagi murid-muridnya, bukan menutupnya dengan keterbatasan.
Fiqhi Siyasah mengajarkan bahwa pemimpin harus faqih, adil, dan visioner. Guru pun demikian: ia bukan hanya mengajarkan pelajaran, tetapi membangun karakter, akal, dan harapan.

Guru sebagai Pemimpin Bangsa dalam Perspektif Konstitusi
Peran guru ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas)
Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia:
• beriman,
• bertaqwa,
• berakhlak mulia,
• cerdas,
• terampil, dan
• menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Misi besar ini tak mungkin diwujudkan tanpa guru yang menjalankan profesinya dengan hati dan ilmu.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen)
Guru wajib memiliki:
• kompetensi pedagogik,
• profesional,
• sosial, dan
• kepribadian.
Keempatnya adalah pilar kepemimpinan. Guru adalah pemimpin kecil di kelas, pemimpin menengah di sekolah, dan pemimpin besar dalam tubuh bangsa.

Pendidikan yang Menghidupkan: Dari Jiwa ke Jiwa

Ki Hadjar Dewantara pernah berkata:
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Ini bukan hanya filosofi pendidikan, tetapi inti dari kepemimpinan Fiqhi Siyasah:
• Di depan memberi teladan → uswah hasanah
• Di tengah membangun semangat → ta’awun & syura
• Di belakang memberi dorongan → targhib & tazkiyah
Sejalan dengan hadis Nabi:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”
(HR. Ahmad)

Guru yang mengajarkan akhlak adalah pemimpin paling strategis dalam masyarakat. Ia mempengaruhi perilaku generasi, bahkan sebelum mereka mengenal dunia politik formal.

Guru dalam Pandangan Tokoh Dunia: Pemimpin Perubahan
Beberapa tokoh besar dunia menempatkan guru sebagai pusat perubahan:
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
— Malala Yousafzai
“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”
— Nelson Mandela
“A teacher affects eternity; he can never tell where his influence stops.”
— Henry Adams
Ketika para pemimpin dunia mengakui kekuatan seorang guru, maka jelas bahwa mendidik adalah perbuatan politik yang paling luhur—bukan politik kekuasaan, tetapi politik peradaban.

Mendidik dengan Hati: Kembali ke Spirit Keteladanan

Guru ideal dalam Fiqhi Siyasah adalah guru yang:
1. Tulus. Mendidik bukan demi pujian, tetapi demi masa depan murid.
2. Adil. Memberikan perhatian yang sama, tidak diskriminatif.
3. Bijak. Menghadapi murid dengan kasih sayang, bukan amarah.
4. Visioner. Membimbing murid untuk menjadi pemimpin yang bertauhid, berilmu, dan berakhlak.
Allah bersaksi bahwa kelemahlembutan adalah kunci kepemimpinan:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah engkau berlaku lemah lembut kepada mereka…”
(QS. Ali Imran: 159)
Guru tidak pernah sekadar mengajar. Ia menanamkan cinta, harapan, dan masa depan—dengan suara, tatapan, dan perilakunya.

Memimpin dengan Ilmu: Melahirkan Generasi Ulul Albab

Fiqhi Siyasah mengajarkan bahwa pemimpin harus mampu melakukan ijtihad untuk menyelesaikan persoalan masyarakat. Guru melakukan hal yang sama setiap hari:
• menghadapi murid dengan berbagai karakter,
• menyelesaikan masalah sosial,
• menjadi penentu arah moral,
• sekaligus menjadi jembatan mimpi generasi.
Al-Qur’an memuji ulul albab: orang-orang cerdas yang memadukan zikir (hati) dan fikir (akal). Guru adalah pembentuk ulul albab masa depan.

Guru adalah Pemimpin Sejati

Di Hari Guru Nasional ini, mari kita ingat:
Guru membangun peradaban.
Guru melahirkan pemimpin.
Guru menggerakkan sejarah.
Jika politik kekuasaan hanya mengubah kebijakan lima atau sepuluh tahun,
maka politik pendidikan yang dilakukan guru mengubah wajah bangsa selama seratus tahun.
Maka benarlah pepatah Arab:
“Al-mu‘allim rasulun bila wahyi.”
“Guru adalah rasul tanpa wahyu.”
Mendidik dengan hati.
Memimpin dengan ilmu.
Itulah Fiqhi Siyasah bagi seorang guru.
Itulah jalan sunyi para pembangun masa depan.
Selamat Hari Guru Nasional.

Untuk semua guru: terima kasih karena selalu menjadi cahaya, sekalipun kadang dunia lupa memandang terangmu. (*)

Archive
Sign in to leave a comment