Opini - Hari ini, 1 Juli 2025, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) genap berusia 79 tahun. Sejak dipisahkan secara institusional dari Tentara Nasional Indonesia pada tahun 1999, Polri memasuki era baru sebagai lembaga sipil penegak hukum. Pemisahan ini merupakan bagian dari agenda besar reformasi 1998, yang menuntut supremasi sipil dan demokratisasi institusi negara, termasuk penegakan prinsip negara hukum.
Namun, setelah dua dekade lebih reformasi kelembagaan Polri, sejumlah tantangan masih mengemuka. Kritik terhadap profesionalisme, akuntabilitas, dan transparansi kinerja Polri kerap menjadi sorotan publik. Evaluasi dari perspektif hukum tata negara menjadi penting, sebab Polri bukan sekadar aparat teknis penegakan hukum, tetapi juga bagian dari struktur kekuasaan negara yang tunduk pada prinsip-prinsip konstitusional.
Secara Konstitusional, Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Konstitusi dengan tegas menempatkan Polri sebagai lembaga negara yang independen dari militer, tetapi tetap berada dalam kerangka kekuasaan eksekutif.
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menegaskan bahwa Polri berada langsung di bawah Presiden. Namun, relasi ini harus dibaca sebagai bentuk pertanggungjawaban administratif dan bukan subordinasi politik. Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan antara efektivitas komando dan prinsip checks and balances.
Salah satu kritik utama terhadap Polri adalah lemahnya mekanisme pengawasan. Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal sering dipandang hanya bersifat simbolik dan tidak memiliki kewenangan kuat. Sementara pengawasan internal melalui Divisi Propam kerap tidak transparan dan berujung pada impunitas.
Menurut Penulis, dalam sistem negara hukum, kekuasaan negara, termasuk kekuasaan penegakan hukum, harus dikontrol oleh mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Sudah saatnya dilakukan penguatan terhadap lembaga pengawas eksternal Polri, baik melalui penguatan kewenangan Kompolnas, maupun pembentukan lembaga baru yang independen dengan akses terhadap proses penyelidikan internal.
Kinerja Polri juga kerap dikritik terkait perilaku aparat yang represif, penyalahgunaan wewenang, hingga keterlibatan dalam konflik kepentingan politik. Fenomena “No Viral No Justice” yang menunjukkan sikap represif dan melanggar prosedur, memperburuk kepercayaan publik.
Dalam kerangka hukum tata negara, profesionalisme institusi penegak hukum adalah prasyarat negara demokratis. Konstitusi menjamin kesetaraan di hadapan hukum, dan karena itu tindakan aparat Polri yang melampaui batas hukum merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip konstitusional tersebut.
Kemandirian Polri harus dimaknai sebagai kebebasan dari intervensi politik, namun tidak boleh menjadi alat untuk menghindari akuntabilitas. Penataan sistem rekrutmen, promosi, dan rotasi personel yang lebih terbuka dan berbasis meritokrasi mutlak diperlukan.
Reformasi kelembagaan tidak cukup hanya melalui perubahan struktural dan aturan hukum. Polri membutuhkan reformasi kultural yang mendalam dan perubahan paradigma yang lebih humanis serta menjadi pelayanan publik berbasis hak asasi manusia.
Reformasi kultural harus dimulai sejak pendidikan kepolisian. Kurikulum di akademi kepolisian perlu diperkuat dengan perspektif konstitusi, hak asasi manusia, etika publik, dan nilai-nilai demokrasi. Di lapangan, pendekatan keamanan berbasis komunitas (community policing) perlu diperluas, agar kehadiran Polri tidak hanya ditakuti, tetapi dipercaya.
Di usia yang ke-79 ini, momentum peringatan Hari Bhayangkara seharusnya menjadi refleksi kritis terhadap peran Polri dalam menjaga konstitusionalisme dan demokrasi. Polri bukan sekadar aparat penegak hukum, tetapi institusi konstitusional yang wajib tunduk pada prinsip negara hukum.
Perlu ada komitmen politik dari Presiden, DPR, dan masyarakat sipil untuk mendesain ulang arah reformasi Polri. Agenda revisi UU Polri harus diletakkan dalam kerangka pembaruan konstitusional, bukan sekadar respons sesaat atas problem teknis.
Penguatan akuntabilitas, reformasi struktural dan kultural, serta komitmen pada profesionalisme dan kemandirian adalah kunci menuju Polri yang benar-benar demokratis. Hanya dengan demikian, Polri dapat berdiri kokoh sebagai penjaga hukum dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara.
Selamat Ulang Tahun Polri Yang Ke 79 Tahun.
POLRI dan Amanat Negara Hukum