Skip to Content

Menguak Jejak Representasi Agama dalam Kontestasi Politik: Studi Kasus Pemilu Presiden 2019

IAIN Parepare Soroti Polarisasi Agama dalam Bincang Akademia
31 December, 2019 by
Humas IAIN Parepare

Pemilu Presiden 2019 menyisakan jejak polarisasi yang mendalam di tengah masyarakat Indonesia. Salah satu faktor utama yang disinyalir memperkeruh suasana adalah penggunaan representasi agama dalam kontestasi politik. Fenomena ini menjadi sorotan utama dalam sebuah kajian riset ilmiah yang dibahas dalam "Podcast Kajian Riset Ilmiah dalam Bincang Akademia IAIN Parepare," yang menghadirkan narasumber utama, Bapak Nahrul Hayat, M.I.Kom, seorang peneliti yang juga penerima hibah riset pada tahun 2020.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Humas IAIN Parepare ini mengupas tuntas hasil riset yang dilakukan oleh para dosen IAIN Parepare pada tahun 2020 dan 2021. Fokus utama perbincangan adalah penelitian Bapak Hayat yang berjudul "Pemilihan Presiden dan Representasi Agama dalam Kontestasi Semiotika Komunikasi dan Hukum Politik, Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017." Studi interdisipliner ini, yang awalnya diajukan pada 2019 namun sempat tertunda karena pandemi, menyoroti dinamika kompleks antara agama dan politik di era kontemporer.

Akar Masalah: Kondisi Sosial-Politik dan Tren Studi Ilmiah

Penelitian ini berangkat dari dua aspek fundamental yang melatarbelakangi kontestasi politik 2019. Pertama, kondisi sosial-politik yang memanas pasca-Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Momen tersebut menjadi penanda awal meningkatnya polarisasi politik berbasis sentimen keagamaan, yang kemudian berlanjut hingga Pemilihan Presiden 2019. Pergeseran ini menciptakan fase baru di mana isu agama menjadi alat polarisasi yang efektif dalam arena politik.

Kedua, adanya tren studi ilmiah yang terus berkembang mengenai interelasi antara politik dan agama. Para sarjana, baik di tingkat nasional maupun internasional, secara konsisten membahas bagaimana agama semakin dimanfaatkan dalam kontestasi politik, terutama dengan pesatnya perkembangan media digital dan media sosial. Penggunaan sentimen keagamaan menjadi semakin mudah tersebar dan memengaruhi opini publik.

Dalam penelitiannya, Bapak Hayat, yang memiliki spesialisasi di bidang komunikasi politik, berkolaborasi dengan Dr. Zainal, seorang ahli hukum politik. Mereka menganalisis akun Twitter kedua pasangan calon presiden 2019, yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, untuk melihat bagaimana representasi agama dimainkan dalam kampanye mereka.

Temuan Kunci: Simbol Agama yang Berbeda dan Resonansi Publik

Hasil penelitian ini mengungkap beberapa temuan kunci yang patut dicermati:

  • Pemanfaatan Simbol dan Narasi Agama: Kedua pasangan calon secara ekstensif menggunakan simbol dan narasi agama dalam kampanye mereka. Penggunaan ini tidak hanya sekadar formalitas, melainkan memiliki resonansi yang kuat di tengah masyarakat, sehingga pesan-pesan kampanye yang bernuansa agama mampu menjangkau dan memengaruhi pemilih.
  • Perbedaan Representasi Islam: Penelitian ini menemukan adanya perbedaan signifikan dalam representasi Islam yang diusung oleh masing-masing pasangan calon. Akun Joko Widodo-Ma'ruf Amin cenderung menampilkan kedekatan mereka dengan ulama dan pesantren, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama (Nahdiyin). Hal ini membangun citra sebagai pemimpin yang dekat dengan tradisi keagamaan arus utama.
  • "Oposisi Islam" Prabowo-Sandi: Sebaliknya, akun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menampilkan "oposisi Islam" yang diasosiasikan dengan kelompok-kelompok seperti Habib Rizieq dan alumni 212. Representasi ini menunjukkan adanya segmentasi dan diferensiasi dalam penggunaan isu agama.
  • Isu Lain di Samping Agama: Meskipun isu agama menonjol, tema-tema lain juga tetap diangkat. Misalnya, Jokowi menyoroti pembangunan infrastruktur, sementara Sandiaga Uno fokus pada isu ekonomi, seringkali dibingkai dalam konsep "ekonomi kerakyatan" dengan sentuhan simbol-simbol keagamaan.

Diskusi juga menyinggung sifat politik "dari bawah ke atas" pada tahun 2019, di mana isu-isu agama menjadi gerakan akar rumput dan bukan semata-mata intervensi partai politik. Bapak Hayat mencatat adanya hubungan timbal balik antara kelompok elite dan akar rumput, di mana elite seringkali memainkan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dalam kampanye mereka. Ia mengutip penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tahun 2018 yang menunjukkan bahwa 67% penganiayaan disebabkan oleh isu SARA, termasuk agama.

Polarisasi Digital dan Tantangan Demokrasi

Temuan penelitian ini selaras dengan berbagai kajian lain mengenai dampak media sosial terhadap polarisasi politik di Indonesia. Riset menunjukkan bahwa platform digital berperan besar dalam memperkuat "ruang gema" (echo chambers) dan "gelembung filter" (filter bubbles), yang cenderung menguatkan keyakinan yang sudah ada dan memperlebar jurang perbedaan pandangan antar kelompok pendukung. Fenomena ini, seperti yang diungkapkan dalam beberapa studi (lihat Digital Activism and Political Change dan The Role of Social Media in Fueling Political Violence), memperburuk perpecahan ideologis dan memfasilitasi penyebaran disinformasi. Konten multimodal di media sosial, yang memadukan teks, gambar, dan video, secara efektif dapat membingkai politik dengan atribut keagamaan yang menarik untuk mendapatkan respons netizen, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian tentang konsistensi politisasi agama di Pemilu (lihat THE PRE-PRESIDENTIAL ELECTION 2024: UNCOVERING THE CONSISTENCY OF RELIGIOUS POLITICIZATION).

Secara teoritis, interaksi antara agama dan politik di Indonesia dapat dipahami melalui lensa sosiologi politik, di mana agama bukan hanya keyakinan pribadi tetapi juga kekuatan pendorong mobilisasi sosial dan politik. Meskipun Indonesia bukan negara teokrasi, konstitusi secara resmi mendefinisikan agama, dan setiap warga negara harus berafiliasi dengan salah satunya. Hal ini menciptakan konteks unik di mana agama memiliki pengaruh signifikan terhadap politik, terutama dengan otonomi daerah yang semakin kuat memungkinkan kelompok agama untuk lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan lokal (lihat THE INTERSECTION OF ISLAM AND POLITICS IN INDONESIA'S LOCAL AUTONOMY ERA).

Pentingnya Regulasi dan Nilai Agama sebagai Sumber Moral

Penggunaan isu agama yang keliru dalam Pemilu 2019 menjadi pelajaran berharga. Podcast ini menyimpulkan bahwa perlu adanya pembaruan dan pengetatan regulasi hukum terkait konten kampanye. Meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah mengatur berbagai aspek kampanye, termasuk larangan kampanye di tempat ibadah (Pasal 280 ayat 1 huruf h), dan memperbolehkan penggunaan media sosial untuk kampanye (Pasal 275 ayat 1), namun UU ini tidak secara spesifik mengatur polarisasi keagamaan sebagai bentuk pelanggaran pemilu. Pelanggaran yang terkait dengan isu SARA atau ujaran kebencian lebih sering ditindak berdasarkan undang-undang lain, seperti UU ITE, daripada UU Pemilu itu sendiri (lihat The Election Supervisory Agency's Political Mitigation Against Religious Polarization in Regional Head Elections). Hal ini menimbulkan dualisme regulasi yang berpotensi menciptakan ambiguitas dalam penegakan hukum (lihat Does social media Has an Impact on Election? Legal Implications of social media Misuse for Political Campaigns).

Bapak Hayat menekankan pentingnya menghindari penggunaan simbol agama yang justru mempertajam polarisasi di masyarakat. Ia menegaskan bahwa meskipun agama dan politik saling terkait, nilai-nilai agama seharusnya berfungsi sebagai sumber moral dan etika, bukan sekadar komoditas politik yang bisa diperdagangkan. Dengan demikian, nilai-nilai luhur agama dapat tetap menjadi perekat bangsa, bukan pemicu perpecahan.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai riset ini dan topik terkait, Anda dapat merujuk pada beberapa publikasi ilmiah yang relevan:

Humas IAIN Parepare December 31, 2019
Archive