Game Changer Peta Politik 2024 Lampaui Peristiwa U-20

3 April, 2023 oleh
Ahmad Zuhudy Bahtiar

oleh: Ir. Sufyaldy, M.Kom. (Kepala UPT. TIPD dan Pranata Komputer Ahli Muda )

Opini - Dalam acara Adu Perspektif detikcom bersama Total Politik yang disiarkan di Youtube,  M Qodari menjelaskan dengan antusias bahwa batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia akan menjadi game changer pada Pemilu 2024. Pergeseran pendukung Capres dalam Pilpres mendatang akan sangat mungkin terjadi.

Direktur Eksekutif Indo Barometer tersebut menyampaikan analisis atas penolakan Timnas Israel berlaga pada Piala Dunia U-20 di Indonesia sangat berpotensi menjadi game changer pemilu. Dia sangat optimis dan menyebut bakal Capres sangat mungkin berubah.

"Nah saya melihat ini bisa menjadi potensial game changer ke depan, jadi bakal Capres bisa sangat berubah pasca peristiwa Qatar Piala Dunia U-20," imbuhnya.
Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, menguatkan pernyataan tersebut secara tidak langsung lewat hasil survey dan jajak pendapat melalui telepon yang dilakukan lembaga surveynya.  Temuannya adalah adanya pernyataan elit  partai yang menolak kehadiran Israel, ternyata inkonsisten dengan harapan basis massa pendukungnya di
grassroot yang justru berharap sebaliknya. Tetap setuju dengan kehadiran tim Israil bertanding di Indonesia. Ada detachment, ada perbedan aspirasi antara elit dengan massa” ungkapnya

Apakah peristiwa U-20 pasti akan menjadi game changer  yang mampu menyulap sekejap peta pencapresan dan politik di republik ini secara umum ? Bukankah masyarakat kita sangat pemaaf dan mudah melupakan kata seorang pengamat ? Burhanuddin Muhtadi pada kesempatan yang sama menyatakan  “wallahuallam”  . Karena kualitasnya masih  potensial seperti yang disampaikan Qodari. Tentu saja preposisi tersebut masih perlu di uji dengan riset mendalam dan waktu yang cukup untuk mengetahui dampak jangka panjangnya terhadap hasil kontestasi politik 2024. 

Kita tinggalkan sejenak analisis spekulatif dan pertanyaan retoris  tersebut dengan pertanyaan baru; adakah game changer lain yang mampu mendistrupsi atau bahkan merevolusi tatanan politik yang sudah ada saat ini ? tatanan yang selalu berusaha dimapankan oleh para elit politik. 

Sebelum membahasnya kita menyamakan persepsi dahulu tentang “mahluk” game changer yang masih asing bagi sebagian kalangan tersebut.     

Flor Avelino, Julia M. Wittmayer, René Kemp dan Alex Haxeltine dalam papernya yang dipublikasikan di Resilience Alliance Inc. berjudul “Game-changers and transformative social innovation” menjelaskan bahwa awalnya, game-changer secara luas dikonseptualisasikan sebagai "fenomena makro (peristiwa dan tren) yang dianggap dapat mengubah (aturan, bidang, dan pemain dalam) 'permainan' interaksi sosial. Pemahaman dominan tentang nilai, institusi, dan  hubungan sosial yang dilalui masyarakat adalah terorganisir dan didefinisikan dapat berubah secara mendasar sebagai respons terhadap peristiwa dan trend.

Dalam artikel dailysocial.id yang diterbitkan Januari 2017 berjudul "Fintech Startup dan Tugasnya Membawa Perubahan" dipaparkan bahwa game changer adalah istilah dalam bahasa Inggris yang mengacu pada situasi atau ide yang mendobrak dan mengubah cara berpikir masyarakat akan sebuah tatanan

Secara umum game changer dapat merujuk pada perubahan besar yang mempengaruhi cara kita hidup, bekerja, atau berinteraksi dengan dunia di sekeliling. Game changer merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang merubah permainan atau situasi dalam cara yang signifikan. Istilah ini sering digunakan dalam berbagai konteks, termasuk teknologi , pendidikan,  bisnis, kesehatan, olahraga,  politik dan sektor-sektor publik  lainnya.

Dalam teknologi dan pendidikan, game changer dapat merujuk pada teknologi baru atau produk inovatif yang mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia. Contohnya adalah teknologi online learning sistem yang telah mengubah cara berinteraksi pendidik dan peserta didik, merevolusi tatakelola pembelajaran di industri pendidikan dan akhirnya mendistrupsi, bahkan berpotensi mengubur institusi pendidikan konvensional yang masih resisten terhadap keniscayaan perubahan model bisnis dalam pendidikan. 

Dalam bisnis dan kesehatan, game changer dapat merujuk pada produk atau layanan baru yang mengubah cara orang berpikir tentang industri tertentu atau mengubah paradigma bisnis yang telah ada dan sudah mapan. Contohnya adalah kemunculan Tokopedia, Bukalapak yang memungkinkan orang Indonesia untuk melakukan transaksi jual beli dari mana saja, melampaui sekat-sekat geografis dan dengan biaya yang sangat murah, tanpa perlu keterampilan membuat toko online sendiri. Platform konsultasi kesehatan online Alodokter, Halodoc memungkinkan pasien berkonsultasi dengan banyak dokter ahli tanpa perlu meninggalkan rumah dengan biaya relatif sangat murah dibandingkan dengan konsultasi onsite di rumah sakit atau di Klinik konvensional. Semua fenomena tersebut merubah cara transaksi, cara belanja dan  merubah pola hidup masyarakat Indonesia.

Dalam olahraga, game changer dapat merujuk pada aturan regulasi baru yang mempengaruhi cara olahraga itu dimainkan. strategi atau teknik baru yang mengubah cara tim atau pemain berlaga, misalkan dengan memanfaatkan big data dan machine learning untuk melakukan simulasi dan prediksi pola permainan sebelum pertandingan dimulai

Dalam politik, game changer dapat merujuk pada kejadian atau tindakan yang mengubah arah politik atau mempengaruhi hasil pemilihan.

Dengan memahami karakteristik teknologi informasi serta mencermati fenomena politik global beberapa tahun terakhir, dapat dipahami bagaimana potensi teknologi informasi menjadi game changer dalam politik, karena memberikan akses dan kemampuan baru bagi individu untuk terlibat dalam proses politik. Teknologi telah mengubah cara orang berkomunikasi, berinteraksi, dan memperoleh informasi, dan tentu saja politik bukanlah pengecualian.

Salah satu contoh bagaimana media sosial dapat menjadi game changer dalam politik dapat dilihat dalam kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2008 yang melibatkan Barack Obama. Pada saat itu, kampanye Obama memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube untuk memobilisasi dukungan dan mengorganisir para relawan.

Kampanye Obama memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menggalang dukungan dari kalangan milenial yang pada umumnya terbiasa menggunakan teknologi. Mereka mengirimkan pesan kampanye yang disesuaikan dengan bahasa dan konteks media sosial, seperti meme, video pendek, dan hashtag yang menarik perhatian.

Kampanye tersebut juga menggunakan media sosial untuk mengumpulkan donasi dari jutaan orang secara online, yang kemudian digunakan untuk membiayai iklan dan aktivitas kampanye lainnya.

Hasilnya, kampanye Obama berhasil meraih suara mayoritas pada pemilihan presiden tersebut dan mengubah cara kampanye politik di masa depan dengan menggunakan media sosial sebagai alat utama dalam kampanye politik.

Contoh lainnya adalah peran media sosial dalam Revolusi Mesir pada tahun 2011, di mana para pengunjuk rasa menggunakan media sosial untuk mengorganisir aksi protes dan memobilisasi massa. Hal ini membantu memicu perubahan politik yang signifikan di negara tersebut.

Selain itu, teknologi juga memberikan akses yang lebih besar kepada informasi politik dan membuatnya lebih mudah untuk mendapatkan pemahaman tentang isu-isu politik dan platform politik kandidat tertentu. Ini memungkinkan individu untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi ketika memilih pemimpin politik mereka.

Donald Trump menggunakan Facebook sebagai alat game changer dalam kampanye presidensialnya di Amerika Serikat pada tahun 2016. Kampanye Trump menggunakan media sosial, terutama Facebook, untuk memperluas basis dukungan dan memengaruhi pemilih yang potensial.

Tim kampanye Trump menggunakan Facebook untuk mengumpulkan data pemilih dan menargetkan iklan politik mereka kepada orang-orang yang diprediksi akan menjadi pemilih potensial di berbagai wilayah. Mereka menggunakan algoritma Facebook untuk memastikan iklan mereka hanya ditampilkan kepada orang-orang yang paling mungkin mendukung kampanye Trump.

Selain itu, kampanye Trump juga menggunakan Facebook untuk berkomunikasi langsung dengan pendukungnya. Mereka mengadakan siaran langsung melalui Facebook Live dan memposting status Facebook yang menarik perhatian dan menghasilkan diskusi di antara para pengikutnya.

Twitter juga memungkinkan Trump untuk berkomunikasi langsung dengan para pemilih dan pengikut mereka. Twitter dioptimalkan untuk mengumumkan kebijakan, memberikan pernyataan politik, menyerang lawan politiknya, dan memobilisasi basis dukungannya.

Twitter juga memberikan kesempatan bagi trump untuk memperluas jangkauan pesan mereka dan terhubung langsung dengan para pemilih. Timnya menggunakan platform ini untuk mempromosikan visi dan platform politik mereka, membagikan pemikiran mereka tentang isu-isu politik terkini, dan membalas tanggapan dari para pengikut.

Selain itu, Twitter juga dapat digunakan sebagai alat untuk memobilisasi aksi politik dan protes. Pemimpin politik dan aktivis seperti Trump  menggunakan Twitter untuk mengorganisir aksi protes, mengirimkan panggilan persuasif untuk tindakan, dan memobilisasi massa dalam dukungan terhadap isu-isu tertentu.

Dan seperti kita ketahui bersama, pada akhirnya strategi kampanye media sosial Trump terbukti berhasil dan mengantarkan figur politik kontroversial tersebut memenangkan pemilihan presiden AS pada tahun 2016. 

Namun, seperti halnya kekuatan lainnya, teknologi informasi bisa menjadi game changer politik melampaui instrumen sosial lain yang konvensional, aksidentil dan temporer. Tapi disisi lain  ia  juga dapat disalahgunakan untuk memanipulasi opini publik dan menciptakan ketidakseimbangan informasi. Seperti yang terungkap dalam temuan kampanye Trump yang menggunakan data pribadi pengguna Facebook secara tidak sah, yang menimbulkan kekhawatiran tentang penggunaan yang tidak etis dari data pengguna media sosial untuk tujuan politik. 

Sosial media juga dapat digunakan untuk menyebarkan misinformasi dan pesan yang tidak akurat. Oleh karena itu, sangat penting bagi pengguna  untuk melakukan pengecekan fakta sebelum memposting atau membagikan informasi apapun. Perlu  dikembangkan regulasi yang memadai dan pemahaman yang baik dari netizen indonesia sendiri selaku voters, tentang bagaimana teknologi informasi dengan kekuatan big data, kecanggihan kecerdasan buatannya dapat mempengaruhi dan mempolarisasi kecenderungan pilihan dan voting behavior masyarakat, sesuai kepentingan para elit politik.

Daftar Bacaan : 

di dalam Opini
Ahmad Zuhudy Bahtiar 3 April, 2023