Skip ke Konten

One Piece dan Politik Simbol: Antara Imajinasi Kebebasan dan Industri Budaya Global

18 Agustus, 2025 oleh
One Piece dan Politik Simbol: Antara Imajinasi Kebebasan dan Industri Budaya Global
Humas IAIN Parepare


Oleh Nahrul Hayat, Dosen Komunikasi Politik IAIN Parepare


Humas IAIN Parepare --- Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 baru saja berlalu pada 17 Agustus 2025. Di berbagai daerah, suasana meriah dengan bendera Merah Putih berkibar di jalan-jalan, upacara sakral berlangsung di sekolah dan kantor pemerintahan, hingga lomba rakyat memeriahkan kampung-kampung. Namun, bersamaan dengan itu, publik juga disuguhi pemandangan yang tak kalah menarik: munculnya bendera bajak laut One Piece di sejumlah ruang publik, diarak oleh anak-anak muda dengan penuh kebanggaan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan reflektif: apa arti sebuah bendera di zaman ketika simbol-simbol global semakin mudah melintasi batas nasional?


Jika perayaan kemerdekaan menegaskan ingatan historis dan ikatan nasional, maka bendera One Piece menghadirkan dimensi lain: sebuah imajinasi kebebasan yang dirayakan generasi muda di luar narasi resmi negara. Di titik inilah, kita berhadapan dengan pertarungan paradigma simbolik—antara nasionalisme yang dikonstruksi negara dan ekspresi kultural yang dibentuk industri budaya global.


George Herbert Mead (1934) dalam teori symbolic interactionism menekankan bahwa identitas sosial dibangun melalui simbol-simbol yang diberi makna bersama. Bagi anak muda yang mengibarkan bendera One Piece, maknanya bukan sekadar “kartun Jepang”, melainkan lambang persahabatan, petualangan, dan mimpi kolektif. Herbert Blumer (1969), murid Mead, menambahkan bahwa makna itu lahir dari interaksi: komunitas fandom menciptakan tafsir bersama bahwa bendera bajak laut bukan sekadar kain bergambar tengkorak, melainkan tanda persaudaraan yang mengikat mereka.


Erving Goffman (1959) melalui perspektif dramaturgi memberi kita lensa lain: ruang publik adalah panggung, dan generasi muda adalah aktor yang menampilkan identitasnya. Mengibarkan bendera One Piece di jalan atau stadion menjadi “pertunjukan” yang menggeser fokus dari simbol negara menuju simbol budaya populer. Mereka tidak sedang menolak nasionalisme secara frontal, melainkan menampilkan citra diri sebagai generasi global, modern, dan bebas.


Namun, Stuart Hall (1980) mengingatkan bahwa representasi budaya tidak pernah netral. Simbol One Piece adalah hasil produksi industri hiburan Jepang yang di-encode dengan nilai-nilai tertentu—heroisme, petualangan, kebebasan—dan kemudian di-decode ulang oleh audiens Indonesia sesuai pengalaman lokal mereka. Dengan kata lain, bendera One Piece adalah teks budaya yang selalu terbuka untuk berbagai tafsir.


Alberto Melucci (1996) tentang collective identity menegaskan bahwa gerakan sosial baru sering lahir bukan dari isu politik besar, melainkan dari ekspresi simbolik sehari-hari. Bagi generasi muda, mengibarkan bendera One Piece bisa dibaca sebagai cara membangun identitas kolektif alternatif: mereka merasa “diwakili” lebih oleh simbol bajak laut imajiner ketimbang oleh jargon politik formal yang kerap terasa jauh dari keseharian.


Tetapi di balik euforia simbolik itu, ada pertanyaan kritis: apakah kita sedang menyaksikan pelemahan ikatan nasional? Antonio Gramsci (1971) menekankan bahwa hegemoni kultural bekerja melalui persetujuan, bukan paksaan. Dengan menyerap simbol One Piece tanpa disadari, anak muda mungkin sedang ikut dalam hegemoni budaya global yang menggeser kesetiaan simbolik mereka dari Merah Putih ke bendera imajiner.


Theodor Adorno dan Max Horkheimer (1944) melalui kritik industri budaya mengingatkan bahwa budaya populer sering kali diproduksi untuk melanggengkan dominasi kapitalisme. Bendera One Piece bukanlah simbol netral, melainkan produk industri hiburan yang berhasil memasarkan mimpi kebebasan secara massal. Di sini, kebebasan yang dirayakan anak muda sebenarnya sudah “dikomodifikasi”.


Herbert Schiller (1976) lebih jauh menyebut ini sebagai cultural imperialism—dominasi budaya yang secara halus melemahkan identitas nasional melalui produk hiburan global. Sementara itu, Louis Althusser (1971) berbicara tentang ideological state apparatus: jika dulu negara menjadi pusat penyebar ideologi, kini industri budaya global mengambil alih fungsi itu melalui anime, musik, dan media digital.


Refleksi kritis ini makin relevan ketika dikaitkan dengan realitas sosial Indonesia pasca perayaan kemerdekaan ke-80. Tujuh puluh delapan tahun lalu, Soekarno berteriak “Merdeka!” dengan penuh gairah, melawan kolonialisme fisik. Kini, delapan dekade setelah proklamasi, kita menghadapi “kolonialisme simbolik” yang lebih halus. Di satu sisi, generasi muda bangga dengan Merah Putih saat upacara, namun di sisi lain mereka mengekspresikan kekecewaan melalui bendera bajak laut.


Mengapa demikian? Karena banyak masalah sosial yang membuat simbol negara terasa jauh dari kehidupan nyata. Tingginya angka pengangguran membuat banyak lulusan muda kehilangan arah. Biaya pendidikan yang kian mahal menutup akses bagi kelompok miskin untuk naik kelas. Pajak yang dirasa berat dan daya beli yang rendah membuat masyarakat merasa tertekan. Dalam situasi ini, bendera One Piece menjadi saluran simbolik untuk mengekspresikan keresahan: seolah mereka berkata, “Kami ingin kebebasan yang dijanjikan, tapi yang kami rasakan justru beban.”


Benedict Anderson (1983) pernah menulis bahwa bangsa adalah imagined community, dibayangkan melalui simbol-simbol yang mempersatukan. Tetapi, ketika simbol negara dianggap tidak lagi merepresentasikan aspirasi nyata, generasi muda mencari “komunitas imajiner” lain, meski berbentuk fandom global. Clifford Geertz (1973) menyebut simbol sebagai “sumber makna”, dan dalam kasus ini, bendera bajak laut menjadi sumber makna alternatif: totem modern bagi generasi yang ingin merasa memiliki.


Tentu, ini bukan berarti nasionalisme sedang runtuh. Fenomena ini lebih tepat dibaca sebagai dialektika simbol: generasi muda tidak menolak Merah Putih, tetapi mereka juga ingin ruang simbolik untuk mengekspresikan keresahan dan imajinasinya. Merdeka dalam arti kultural berarti memberi ruang bagi keragaman simbol, tanpa harus kehilangan pijakan pada identitas nasional.


Kini, pasca HUT RI ke-80, refleksi kita semakin mendalam: bagaimana menjaga semangat nasionalisme di tengah banjir simbol global? Jawabannya mungkin bukan dengan melarang atau menertawakan bendera One Piece, melainkan dengan memastikan bahwa Merah Putih benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari: memberi pekerjaan layak, pendidikan terjangkau, pajak yang adil, dan daya beli yang kuat. Nasionalisme bukan sekadar soal bendera di tiang, melainkan kesejahteraan di meja makan rakyat.


Generasi muda Indonesia sedang berlayar di samudra global, ditemani simbol-simbol baru yang mereka pilih sendiri. Pertanyaannya, apakah negara mampu menjadi “nakhoda” yang memastikan arah kapal itu menuju masa depan yang adil dan bermartabat? Atau justru membiarkan layar kebebasan mereka dikendalikan oleh angin industri budaya global?


Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan, apakah di usia ke-80 ini Indonesia hanya sekadar merayakan kemerdekaan, atau benar-benar memaknainya dalam kehidupan nyata warganya.



Daftar Pustaka


Adorno, T., & Horkheimer, M. (1944). Dialectic of Enlightenment. New York: Social Studies Association.


Althusser, L. (1971). Ideology and Ideological State Apparatuses. London: Verso.


Anderson, B. (1983). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.


Blumer, H. (1969). Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Englewood Cliffs: Prentice-Hall.


Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.


Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Anchor.


Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.


Hall, S. (1980). Encoding/Decoding. In Culture, Media, Language. London: Routledge.


Mead, G. H. (1934). Mind, Self, and Society. Chicago: University of Chicago Press.


Melucci, A. (1996). Challenging Codes: Collective Action in the Information Age. Cambridge: Cambridge University Press.


Schiller, H. (1976). Communication and Cultural Domination. New York: M.E. Sharpe.

di dalam opini
One Piece dan Politik Simbol: Antara Imajinasi Kebebasan dan Industri Budaya Global
Humas IAIN Parepare 18 Agustus 2025
Arsip