Skip ke Konten

Perpres Perlindungan Jaksa: Jalan Sunyi Bangkitnya Dwi Fungsi

Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
24 Mei, 2025 oleh
Humas IAIN Parepare

Opini -- Presiden Prabowo telah meneken Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang  Perlindungan  Negara Terhadap Jaksa Dalam Menjalankan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia. Alih-alih dianggap sebagai langkah penguatan kelembagaan penegakan hukum, Perpres ini justru memantik kontroversi karena membuka ruang pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam urusan perlindungan jaksa sebuah langkah yang patut dipersoalkan dari kacamata Hukum Tata Negara.


Secara yuridis formal, tujuan Perpres ini tampak mulia, menjamin perlindungan jaksa dari ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan dalam menjalankan tugas profesionalnya. Namun, masalahnya terletak pada desain kelembagaan yang diatur dalam Perpres tersebut, terutama karena menempatkan unsur TNI sebagai bagian dari pelaksaaan perlindungan Jaksa. Bahkan di Pasal 9  Ayat (1 )huruf (c) menegaskan TNI dapat memberikan perlindungan lain sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang bersifat strategis. Pertanyaannya: apakah pelibatan TNI dalam ranah ini konstitusional? Apakah ini tidak bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi?


Secara Konstitusional Indonesia menempatkan kekuasaan sipil sebagai pengendali utama institusi militer. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Namun demikian, kekuasaan tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk menyeret militer ke dalam ranah penegakan hukum sipil secara aktif.


Pasca reformasi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia TNI dengan tegas memisahkan fungsi pertahanan dari fungsi keamanan dalam negeri. TNI tidak lagi menjadi bagian dari alat negara untuk mengurusi keamanan sipil , itu adalah tupoksi Polri. Pelibatan TNI dalam urusan non pertahanan hanya dimungkinkan secara terbatas dan bersifat ad hoc, melalui keputusan politik negara, dengan persetujuan DPR, dan tetap dalam kerangka perbantuan (military aid to civil power).


Perpres 66/2025  tidak secara eksplisit menyebut pelibatan TNI sebagai bentuk perbantuan sebagaimana dimaksud dalam UU TNI. Tidak ada rujukan pada persetujuan politik DPR, dan tidak pula dijelaskan batasan serta mekanisme pengawasan terhadap pelibatan TNI. Ini tentu berisiko menabrak prinsip supremasi sipil dan mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan fungsi keamanan.


Kejaksaan merupakan lembaga negara yang memiliki mandat penegakan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Kejaksaan. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu, kejaksaan bekerja dalam sistem hukum acara pidana yang tunduk pada asas legalitas dan akuntabilitas sipil.


Meskipun  dalam Pasal 5 Perpres 66/2025  diatur Tupoksi perlindungan jaksa oleh Polri secara detail. Sebenarnya tanpa Perpres pun itu sudah seharusnya menjadi tugas dan fungsi utama Polri.


Jadi, jika kejaksaan mengalami ancaman atau gangguan, maka mekanisme hukum yang tepat adalah melibatkan Polri sebagai alat negara penegak hukum yang sah dan diberi kewenangan menjaga ketertiban umum. Tugas perlindungan terhadap jaksa idealnya diletakkan dalam kerangka pengamanan oleh satuan internal dan eksternal sipil bukan militer.


Pelibatan militer dalam pengamanan kantor kejaksaan, jika tidak dikendalikan dengan ketat, justru membuka ruang bagi kembalinya praktik dwifungsi yang selama ini telah ditolak oleh semangat reformasi.


Dalih “perlindungan jaksa” dalam Perpres ini bisa menjadi bentuk penyelundupan hukum bagi militerisasi institusi penegakan hukum sipil. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan muncul pola serupa di lembaga-lembaga hukum lain, termasuk pengadilan atau KPK. Apakah ke depan Mahkamah Agung juga akan meminta pengawalan TNI? Apakah penyidik KPK akan didampingi tentara dalam melakukan OTT?


Narasi perlindungan dapat menjadi topeng yang menutupi agenda perluasan peran militer dalam ranah sipil. Dalam jangka panjang, ini dapat membahayakan prinsip rule of law, mengganggu independensi lembaga penegak hukum, dan mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi konstitusional.


Tidak ada yang menyangkal bahwa jaksa berisiko tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Namun, solusi terbaik bukan dengan menarik militer ke dalam urusan sipil, melainkan memperkuat sistem keamanan internal kejaksaan, membangun sinergi yang sehat dengan kepolisian, serta memperkuat perlindungan hukum dan kelembagaan terhadap jaksa yang bersikap profesional.


Perpres ini juga memperlihatkan lemahnya konsep kebijakan keamanan nasional yang holistik. Idealnya, pemerintah menyusun grand design perlindungan aparat penegak hukum melalui pendekatan hukum, bukan pendekatan kekuatan. Langkah-langkah ad hoc seperti ini hanya akan memunculkan kekacauan normatif dan instabilitas kelembagaan.


Kehadiran TNI dalam institusi kejaksaan, meski dibalut dengan narasi perlindungan, adalah kemunduran dari semangat reformasi. Jika tidak dikoreksi, Perpres ini dapat menjadi preseden buruk dalam relasi antara kekuasaan sipil dan militer. Demokrasi tidak dibangun di atas rasa takut, tetapi di atas kepastian hukum dan supremasi konstitusi. Sudah saatnya Presiden mendengar kembali suara reformasi, bahwa militer adalah alat pertahanan negara, bukan penjaga kantor kejaksaan.

di dalam Opini
Humas IAIN Parepare 24 Mei 2025
Arsip