Tongkonan sebagai Kalimatun Sawa Masyarakat Multikultural Tana Toraja

30 Januari, 2022 oleh
webadmin1

Oleh : Wahyuddin
wahyuddin@iainpare.ac.id

Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare

PENGANTAR
Indonesia merupakan negara yang multikultural yakni memiliki keragaman, pluralitas, serta kebhinekaan dalam kehidupan masyarakatnya. Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan bangsa Indonesia. Artinya, “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Hal tersebut yang menjadi gambaran bahwa negara Indonesia sangat majemuk karena terdiri dari berbagai ras, suku, bahasa, budaya, agama dan kepercayaan. Kemajemukan masyarakat Indonesia itu tercermin juga dengan adanya multiagama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, Budha, Hindu, Katolik, dan Konghucu.

Tidak hanya agama, kemajemukan Indonesia juga dalam segi aliran kepercayaan lokal masyarakat yang sangat majemuk. Meskipun Indonesia memiliki bermacam keanekaragaman di atas, tidak lantas bangsa ini terpecah belah persaudaraan, persatuan dan kesatuannya. Akan tetapi konsep tasamuh (toleransi) senantiasa menjadi hal yang paling dimaknai. Karena sesuai amanat konstitusi negara Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28E bahwa setiap orang berhak untuk bebas memeluk agama, kebebasan meyakini kepercayaan, dan berhak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapatnya.

Selain itu, selama ini kita telah mengenal 4 pilar atau konsensus dasar bernegara yakni Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika sesuai yang di sebut di awal tadi dimana telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat sebagai pijakan, ideologi, pegangan hidup, dan pedoman dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai masyarakat sosial yang majemuk.

Untuk menjaga agar negara Indonesia tetap komitmen dan memegang teguh konsesus dasar di atas dan menjadi bangsa yang damai, terhindar dari segala macam konflik yang melibatkan berbagai pihak, maka diperlukan adanya kesepakatan bersama ditengah perbedaan yang ada dalam hal ini sering dimaknai sebagai “Kalimatun Sawa” yang secara etimologi berasal dari bahasa Arab berarti “titik temu” atau “kata sepakat” (konsep kesepakatan ditengah perbedaan dan keyakinan) yang senantiasa menjaga sikap interaksi sosial yang baik dan rasa toleransi yang saling menghormati antara sesama.

Bahkan dalam menghadapi kemajemukan seperti itu, tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme tetapi harus mengedepankan sikap tasamuh (toleran) tadi, mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Juga tetap menjaga toleransi sosial dalam konteks kemajemukan masyarakat yang telah menjadi tradisi turun temuran dari para leluhur dan pendiri bangsa (Founding Father) di setiap daerah di Indonesia.

Tana Toraja merupakan salah satu daerah yang berada di utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Dimana secara kultur dan tradisi masyarakat Toraja dikenal secara luas bahkan sampai ke tingkat nasional dan internasional sebagai daerah yang tidak hanya unggul dalam segi wisata budaya lokal dan alam, akan tetapi yang patut dan mesti dibanggakan dari daerah ini adalah sikap kerukunan antara umat dan toleransi sosial kemasyarakatannya yang dikenal sangat erat.

Melihat bagaimana situasi dan kondisi toleransi sosial yang terbangun pada masyarakat Toraja tersebut tentu ada alasan tersendiri, sehingga sampai saat ini, Toraja dikenal sebagai daerah yang memiliki banyak multikultural masyarakatnya, namun tidak pernah terdengar kabar terjadi konflik dan perpecahan antar golongan dan umat beragama.

Tahun 2020 saat itu ketika saya bersama teman-teman mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Parepare dan Ketua Prodi melakukan Studi Budaya di salah satu daerah yakni Desa/Lembang Kaduaja, Kecamatan Gandang Batu Silanan, Kabupaten Tana Toraja.

Saat selesai pertemuan, kami mendapatkan informasi dari Kepala Lembang/Desa dan Pendeta daerah setempat bahwasanya sampai saat ini masyarakat Tana Toraja tetap memegang filsafat relasi keharmonisan (tallu lolo’na) dalam bahasa daerah setempat dan sumber aturannya berasal dari “Tongkonan” sebagai simbol yang menjadi pemersatu sosial masyarakat dalam artian “Tongkonan” dianggap sebagai titik temu keberagaman masyarakat.

Maka menarik untuk kita ketahui bersama makna yang terkandung dalam adat Toraja “Tongkonan” yang menjadi pegangan dan paradigma/pandangan hidup dalam menjaga toleransi sosial dan kerukunan pada masyarakat Toraja.

Pembahasan/Analisis :

Rumah adat Toraja sekaligus menjadi ikon dan rumah adat Provinsi Sulawesi Selatan “Tongkonan” memiliki makna dan filosofi yang mendalam berasal dari kata tongkon yang artinya duduk, dimana mengandung arti bahwa Tongkonan itu sebagai representasi simbol yang digunakan sebagai tempat duduk dan berkumpul untuk membicarakan, mendengar, serta menyelesaikan segala permasalahan kekeluargaan.

Tongkonan adalah sebagai tempat pembinaan keluarga dalam persatuan keturunan dan harta warisan di setiap keluarga yang berketurunan dari Tongkonan itu, sehingga inilah cikal bakal dan seterusnya membentuk kepribadian dan kebudayan serta tradisi yang menjadi turun temurun dalam kelompok keluarga atau masyarakat Toraja dengan dasar kesatuan, kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam menyelesaikan sesuatu, sehingga hal tersebutlah menjadi dasar bahwa “Tongkonan” dapat dikatakan sebagai “Kalimatun Sawa” titik temu dari pluralitas masyarakat Toraja.

Kalau kita kaitkan dan membaca apa yang telah di pegang masyarakat Toraja yakni “Tongkonan” sebagai (tallu lolo’na) filsafat relasi keharmonisan dan menciptakan sumber kehidupan atau pandangan tersendiri dalam mengarungi kehidupan dengan teori agama Durkheim menjabarakan/menjelaskan tentang keragaman dan keyakinan yang berkembang di tengah masyarakat dalam bukunya, The Elementary Forms of Religious Life, bahwa masyarakat mendirikan dan menciptakan agama lewat pendefinisian fenomena dan kejadian tentang sesuatu yang dianggap sakral dan bertuah.

Artinya agama atau kesakralan sesuatu itu berasal dari masyarakat yang melaksanakan ibadah sesuai dengan apa yang ada dalam pemikirannya atau idealisme. Oleh karena hal itulah, masyarakat Toraja sejak dahulu menjadikan Tongkonan sebagai hal yang sakral dan dianggap telah menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Melalui hal tersebut, maka tercipta keharmonisan dan kerukunan dalam diri setiap warga yang telah menjadikan Tongkonan sebagai landasan dalam menjalani keberlangsungan kehidupan lewat toleransi masyarakat.

Tongkonan sendiri bagi masyarakat Toraja memiliki kekayaan dari segi unsur, peradaban, kepercayaan, tradisi kuno, dan kebanggaan bagi masyarakat, maka tak sembarangan untuk dapat membangun rumah adat ini. Toraja sudah sejak lama dikenal sebagai daerah yang memiliki sikap toleransi dan kerukunan masyarakat yang sangat baik serta diakui oleh dunia.

Dimana toleransi sebagai sebuah paradigma menjadi aspek penting di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, terlebih ketika dalam situasi dan kondisi tertentu dimana sewaktu-waktu saat terjadi konflik antar masyarakat maka konsep toleransi sosial mau tidak mau harus dikedepankan dan diutamakan dalam bermasyarkat sebagai solusi atas permasalahan yang terjadi, oleh karena itu, toleransi tidak hanya berkaitan dengan masalah agama, tetapi bersinggungan langsung pada keseluruhan aspek kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dan itu semua telah tercermin dalam kehidupan bermasyarakat di Toraja.
Berdasarkan beberapa literatur, masyarakat Toraja mayoritas menganut Agama Kristen dan kepercayaan animisme atau kepercayaan lokal yang dalam bahasa daerah setempat di sebut Aluk Todolo. Aluk Todolo adalah agama nenek moyang suku Toraja. Dan hingga saat ini masih dipraktikkan oleh masyarakat, bahkan pada tahun 1970 Aluk Todolo resmi dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Sedangkan pemeluk agama lain seperti Buddha dan Islam masih minoritas dari segi jumlah penganutnya.

Meskipun masyarakat Toraja menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, namun mereka tetap saling menghargai satu sama lain. Selalu menjaga toleransi dan tetap rukun dalam perbedaan yang ada. Dimana manifestasi sikap toleransi itu buah hasil dari memegang kokoh paradigma dan nilai-nilai leluhur yang terkandung dalam “Tongkonan” sebagai “Kalimatun Sawa”.

Sehingga itu terbukti sampai sekarang Toraja menjadi daerah percontohan dalam melihat sisi humanisme dan kerukunan masyarakatnya, toleransi antara umat yang ada dilandasi saling menghargai, menjalin dan memperkokoh silahturahmi serta menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya tanpa memandang perbedaan baik dari agama dan kepercayaannya. Dan sebagai bukti lainnya dalam tradisi masyarakat Toraja masih membumikan nilai-nilai sosial keagamaan, kepedulian, dan sikap gotong royong dalam mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan dan lainnya.

Kesimpulan :

Berdasarkan pembahasan dan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Toraja sebagai daerah yang mempunyai keragamaan atau multikultural masyarakatnya harus terus menjaga kelestarian dan humanisme toleransi sosial yang sudah ada. Lewat nilai-nilai yang lahir dari Tongkonan itu sendiri sebagai cerminan dalam melakukan segala bentuk tindakan, perbuatan, dan juga sebagai pembuktian contoh bagi daerah lainnya di Indonesia. Sikap toleransi sosial yang ada pada masyarakat sudah semestinya digaungkan dan dibumikan dalam setiap aspek kehidupan karena melalui toleransi maka akan tercipta kerukunan, kedamaian, dan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Saran :

Dengan melihat secara eksplisit dan jelas apa yang tergambar dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang ada di Toraja, maka seharusnya daerah lain juga menjadikan Toraja sebagai contoh dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan menciptakan keharmonisan, ketentraman, kesejahteraan serta kerukunan di tengah masyarakat yang memiliki kemajemukan. (*)

Editor : Alfiansyah Anwar

di dalam Berita
webadmin1 30 Januari, 2022