Urgensi Penguatan Moderasi Beragama dalam Menangkal Politik Identitas

5 Desember, 2022 oleh
khaerunnisaihwan

Urgensi Penguatan Moderasi Beragama dalam Menangkal Politik Identitas

Penulis : Rusdianto Sudirman, S.H, M.H (Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare).


OPINI- Tahun 2024, Indonesia akan kembali melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Partisipasi masyarakat serta kegaduhannya sudah mulai terasa sekarang ini. Namun, hal lain yang paling terasa menggeloranya kembali politik identitas. Politik identitas bukanlah hal yang baik untuk negara yang beraneka ragam, seperti Indonesia. Hal tersebut seharusnya bisa dicegah agar tidak menimbulkan perpecahan atau kegaduhan di masyarakat.
Politik identitas telah nyata pernah menjadi sejarah kelam demokrasi Indonesia pada saat pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Terpilihnya Anies Baswedan sebagai gubernur mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah membuktikan bagaimana politik identitas mampu mempengaruhi opini publik yang pada akhirnya berpengaruh pula pada elektabilitas calon dengan berdasarkan agama atau etnis. Aksi 212 yang kemudian berujung dengan vonis bersalah Ahok sebagai terpidana kasus penistaan agama terbukti ampuh mendokrak suara Anies Baswesdan yang menjadi rivalnya.

Menurut penulis, kasus pilkada DKI antara Anies VS Ahok berpotensi akan muncul kembali menjelang Pemilu 2024. Apalagi pasca Partai Nasdem memproklamirkan Anies Baswedan sebagai calon presiden para simpatisan Anies yang mayoritas alumni gerakan aksi 212 akan merasa semakin jumawa karena politik identitas yang mereka gaungkan ternyata sukses membawa Anies sebagai calon presiden.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis perlu segera dilakukan upaya pencegahan meluasnya praktik politik identitas melalui penguatan moderasi agama di tengah masyarakat. Penguatan Moderasi Beragama bertujuan untuk menegaskan bahwa kerukunan bukanlah hal yang bisa diwujudkan dengan cara yang mudah. Ia harus dirumuskan melalui sebuah sosialisasi, kampanye, dan program terukur yang terstruktur, sistematis dan massif.

Secara realitas menunjukkan bahwa toleransi beragama di Indonesia sangatlah dinamis dan membutuhkan konsep “moderat” yang cara penyampainnya harus disesuaikan dengan konteks kasuistis dan waktunya. Oleh karena itu, konsep dan strategi implementasi penguatan moderasi beragama menjadi hal penting menjelang Pemilu 2024 sebagai upaya menangkal tumbuh suburnya politik identitas.
Dari segi hukum formal, penguatan moderasi beragama memiliki landasan hukum yang kuat, karena UUD 1945 menetapkan kewajiban negara untuk menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan tersebut.

Perlindungan hukum terhadap kebebasan beragama juga secara khusus disebutkan dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999.

Penguatan moderasi beragama menjelang pemilu 2024 penting tidak hanya untuk mencegah politik identitas, tetapi juga untuk mengarahkan arah politik negara. Setiap warga negara sangat perlu memahami bahwa Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang sangat majemuk dan keunikan dalam hal agama dan negara. Di sisi lain, masyarakat Indonesia sangat religius dan kesehariannya sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai agama. Hampir tidak ada urusan yang tidak terkait dengan agama atau tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, termasuk keputusan politik dan pemilihan pemimpin. Kebebasan beragama setiap warga negara juga dijamin dalam konstitusi. Namun, Indonesia bukanlah negara yang mendasarkan ideologinya pada agama tertentu. Karena kekhasan ini, setiap warga negara dihadapkan pada tantangan untuk menjaga keseimbangan antara hak beragama di satu pihak dan kewajiban memenuhi kewajiban negara di pihak lain.
Sehingga dalam perkembangannya, politik identitas yang telah menjadi virus baru dalam demokrasi Indonesia perlu diobati dengan vaksin yang bernama moderasi beragama. Moderasi beragama dapat diartikan dengan kata kunci yang telah dirumuskan sebagai “cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemashalatan umum. Berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa” (Peta Roadmap Penguatan Moderasi beragama Tahun 2020-2024 hal. 17)
Berdasarkan kata kunci yang tersebut di atas, maka setidaknya ada tiga indikator yang bisa di jadikan ukuran sebuah cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan seseorang itu dianggap ekstrem atau tidak moderat.
Pertama, cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan seseorang dapat dikatakan radikal ketika atas nama agama justru melanggar nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pemeliharaan dan perlindungan harkat dan martabat manusia merupakan salah satu inti dari ajaran agama.

Kedua, cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan seseorang dapat dianggap radikal meskipun secara sepihak melanggar kesepakatan bersama atas nama agama dalam kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan. Sedangkan untuk Indonesia, kita semua sepakat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai pedoman dasar kesepakatan berbangsa dan negara yang nilai-nilainya juga diambil dari nilai-nilai luhur agama.

Ketiga, cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan seseorang dapat dianggap radikal ketika, atas nama agama, aturan-aturan sosial dan pemerintahan dilanggar untuk menciptakan ketertiban sosial dan kebaikan bersama.

Dengan demikian menjelang pemilu 2024 nanti, menurut penulis narasi-narasi kampanye yang kemudian masih mengunakan diksi fanatisme terhadap agama tertentu, anti terhadap suku atau ras tertentu harus ditindak melalui regulasi yang responsif dan solutif. Begitupun dengan narasi kampanye yang masih mempermasalhkan pancasila dan UUD NRI 1945, termasuk para simpatisan dan tim sukses yang berkampanye atas nama agama yang menimbulkan kegaduhan, ganguan keamanan dan ketertiban harus ditindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bawaslu dan jajarannya diharapkan mampu melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana pemilu dan tindak pidana lain yang ada hubungannya dengan pemilu.

Politik identitas tidak boleh dibiarkan menjadi virus baru dalam demokrasi Indonesia. Penguatan moderasi beragama diharapkan menjadi vaksin yang ampuh dalam melawan virus demokrasi kita. Tentu kolaborasi seluruh elemen bangsa dalam menyebarkan paham-paham agama yang moderat akan menjadi faktor utama dalam menciptakan kerukunan beragama di Indonesia. Dukungan regulasi yang responsif dan solutif juga dibutuhkan agar para pengasong politik identitas dapat ditindak melalui penegakan hukum yang berkeadilan. (*/mif)


di dalam Berita
khaerunnisaihwan 5 Desember, 2022